MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Takdir Allah Tak Pernah Salah


Saya masih ingat bagaimana perempuan itu menangis sejadi-jadinya, ketika lelaki cinta pertamanya, justru memilih sahabatnya sendiri ketimbang dia. Padahal sederet rencana tentang sebuah mimpi bernama pernikahan sudah disusun, lengkap dengan bagaimana mereka akan hidup dari tabungan bersama yang sudah mereka persiapkan.

"Padahal orang tuaku dan orang tuanya sudah sangat akrab." Katanya sambil tergugu. Dan memang benar, orang tua lelaki itu ikut menangis tak percaya kalau hubungan itu harus hancur berantakan.

Si perempuan pun meracau tak jelas, mempersalahkan takdir dan rasanya ingin lari dari kenyataan bahwa kekasihnya 'digondol' sahabatnya sendiri. Sedang sahabat yang lain hanya bisa menatap kasihan.

Si perempuan yang terluka, berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih. Ia pun tak sempat memikirkan masak-masak lagi, ketika satu dua pinangan datang. 

"Buat apa pacaran, kalau akhirnya putus? Lebih baik langsung menikah..." Katanya mantap saat itu.

"Bagaimana dengan cinta?" Tanya saya.

"Cinta? Perempuan bisa dengan mudah jatuh cinta, bila sang lelaki memperlakukannya dengan baik." Katanya lagi seakan hendak membenarkan keputusannya untuk menikah dengan lelaki hasil perjodohan. Lelaki yang bahkan jauh dari kata ideal menurutnya. Lelaki yang bahkan didiagnosa dokter punya kelainan psikologis seumur hidupnya.

"Kamu yakin?" Tanya saya lagi.

Mataku dan matanya beradu pandang, sekelebat saya menangkap keraguan di sana. Namun kemudian dia mengoreksi dengan senyuman, "yakin...Lagipula keluarganya kaya raya, kupikir penyakitnya bisa sembuh dengan pengobatan."

"Tetapi, bahkan dia tak cukup menghibur matamu?" Tanya saya hati-hati, dan dia mendelik.

"Penampilan ternyata bukan segalanya. Buktinya kekasihku yang tampan lari dengan sahabatku." Kamu melengos. Dan akhirnya dia menikah. Kisahnya lebih mirip dongeng, 'Beauty and The Beast'. Sahabat saya yang cantik seperti bidadari dan pandai, harus memasrahkan hidupnya pada lelaki yang ah...

Tak butuh waktu lama, untuknya menyadari bahwa dia harus berkorban seumur hidupnya demi pernikahan itu. Pernikahan yang sejatinya tak pernah ada dalam benaknya. 

"Kalau boleh, aku ingin lari saja. Aku tak sanggup." Katanya suatu saat.

"Sudah terlambat!" Komentar saya sambil menatap orok yang masih merah di pangkuannya. Dan dia pun berusaha larut dalam peran barunya sebagai ibu sambil tetap berkarir. Sejenak ia lupa. 

"Bagaimana kalau aku mundur dari pertaruhan ini? Aku kan juga butuh bahagia." Suatu kali dia menyampaikan niatnya termasuk bila suatu hari dia jatuh cinta lagi.

"Dia yang ada di hidupmu kini adalah pilihanmu. Ayah dari anak lelakimu. Beruntung, dia dengan segala keterbatasannya tak pernah menyakitmu. Dia bahkan terlalu memujamu, bidadari yang rela mempertaruhkan hidupnya demi menemaninya." Kata saya saat itu. Maka dia pun memilih untuk meneruskan perjalanan. Dia makin menyibukkan diri dengan hidupnya, apalagi ketika anaknya sudah cukup besar dan punya kesibukan sendiri.

"Kau tidak ada rencana menambah anak?" Tanya saya suatu kali, melihat anak pertamanya sudah bujang.

Dia mendelik, "kamu gila! Tidak! Aku tidak mau! Cukup!" Jawabnya tegas.


Dia pun memilih untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas negeri bergengsi. Dengan kesibukannya bekerja dan berumah tangga, dia masih bisa meraih gelar Cum Laude untuk gelar master di universitas yang terkenal paling sulit mendapat nilai A.

Dia memang sudah bisa berdamai dengan hidupnya. Dia pikir, bila bahagia terlalu mustahil untuk diraih di dunia, maka dia akan berupaya mendapatkannya di surga. 

Ah, padahal secara kasat mata, dia di atas rata-rata bahagia bagi kebanyakan orang. Manusia yang terlihat tanpa beban. Ternyata, standar bahagianya justru terlalu sederhana buat kebanyakan orang. Ia hanya ingin menikah dengan cinta bukan demi sebuah pertaruhan.

Kini dia memulai karirnya sebagai dosen tetap almamater universitas tempat dia menimba ilmu. Perempuan cerdas itu akhirnya mulai berdamai pada takdirnya. 

Dia yang dahulu ingin bertukar tempat dengan posisi saya, dia memeluk saya betapa tidak mudah untuk tegar seperti saya. Maka dia merasa takdir yang dulu sempat 'dikutuknya' masih lebih baik dari takdir saya dan takdir siapapun yang dikenalnya.

Takdir Allah tak pernah salah. Dia memeluk saya, dan mengingatkan lagi bahwa:

"Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al An'am: 59)

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial