Marini sudah lupa, berapa purnama ia tak jumpa dengan ibunya. Namun, Marini tetap tak jemu menanti kedatangan ibunya saat akhir pekan tiba. Saat para wali santri boleh datang berkunjung menjumpai anak-anak mereka yang sedang menuntut ilmu di pesantren.
Saat teman-temannya asyik bercengkerama dengan keluarga. Marini hanya melihat dari ke jauhan dari pojokan beranda masjid. Sendirian!
Biasanya, Aura, sahabatnya yang menggandeng Marini untuk ikut bercengkerama dengan ibu dan eyang kakungnya yang datang menjenguk.
Kalau tidak ada ibu dan eyang kakung Aura, mustahil buat Marini bisa merasakan makanan rumahan yang enak, lengkap dengan jajanan yang dibeli di Indomaret.
Saat ibu Aura dan eyang kakungnya berpamitan pulang dan memeluk Aura. Marini hanya bisa memandang sedih. Dan biasanya ibu Aura mendekati Marini dan memeluknya juga sambil membelai-belai kepala Marini.
Saat libur pesantren, dan hampir semua santri pulang ke rumah. Marini biasanya ikut pulang ke rumah Aura. Karena seperti biasa sang ibu tidak datang. Marini seperti punya keluarga baru bersama keluarga sahabatnya.
Aura memang sahabat baik Marini. Aura masih 8 tahun, sedang Marini sendiri belum genap 11 tahun. Marini merasa senasib dengan Aura yang ditinggal mati sang ayah. Sepeninggal ayah, ibu mereka harus bekerja di pabrik dari pagi sampai malam.
Tentang bagaimana Aura yang masih kecil harus dititipkan di pesantren, tentu ibu Aura dan eyang kakung sudah memikirkan masak-masak. Katanya, suatu hari saat Aura tinggal di rumah sendiri, teman lelaki sebayanya mengajaknya ke ladang tebu yang sepi, dan di sana lelaki kecil itu menyuruh Aura untuk membuka bajunya. Aura bingung dan menangis. Beruntung Aura bisa lari dan lapor ke eyang kakung yang mantan polisi. Sejak itu, Aura terpaksa dititipkan ke pesantren supaya ibunya merasa nyaman saat bekerja.
Sedang tentang mengapa Marini dititipkan ke pesantren, lebih miris lagi. Ibunya sibuk bekerja di kota, dan akhirnya kecantol lelaki lain. Mereka menikah dan melupakan Marini yang dititip entah sampai kapan. Sejak menikah lagi, ibunya tak pernah datang lagi ke pesantren.
Suatu kali, Marini merencanakan kepulangannya. Ia mengajak Aura, sahabat kecilnya. Hingga suatu malam selepas Isya, Marini dan Aura menyelinap keluar dari pesantren yang berada di tengah perkebunan tebu yang luas, di malam gelap dan mengerikan, demi satu tujuan. Pulang menemui ibuknya Marini.
Marini dan Aura terus berlari melintasi perkebunan tebu yang gelap gulita, tanpa bekal uang sepeser pun. Bahkan mereka harus menahan haus yang teramat.
Pelarian mereka terhenti di kilometer lima, saat aparat desa memergoki dua gadis kecil yang keluyuran malam-malam.
Beruntung aparat desa mengenal eyang kakung Aura. Buru-buru mereka menelpon eyang kakung Aura di Jakarta. Eyang panik bukan kepalang, mengetahui cucunya kabur dari pesantren. Hampir saya eyang kakung marah. Namun air mata malah menetes perlahan mendengar pengakuan polos Aura.
"Assalamualaikum...Kung...Ini Aura. Kakung jangan marah ya. Aura tadi cuma nemenin Marini. Katanya Marini pengen pulang ketemu ibuk...."
Eyang kakung bahkan tak sanggup mengomel. Ia hanya diam menyimak. Eyang kakung meminta tolong aparat desa agar dua anak itu tak langsung dikembalikan ke pesantren. Biarkan mereka bersenang-senang dulu di rumahnya yang juga rumah Aura.
Sesampainya di rumah Aura, ibu Aura memeluk Aura dan Marini satu persatu.
"Marini, anggap aja ibu Aura ini ibumu. Kalau ibumu tak menjemput, kamu bisa ikut ibu saja. Malam ini kamu menginap di sini ya. Besok siang, ibu antar kamu jalan ke kota menjenguk ibuk, pulangnya beli es krim..." Ibu Aura memeluk Marini sambil berlinang air mata.
*** Berdasar kisah nyata***
Comments
Post a Comment