MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Kenapa Saya 'Nge-Blog'?



Sewaktu kecil, saya menderita dyslexia. Bagi yang belum tahu apa itu dyslexia, itu adalah salah satu jenis gangguan yang membuat seseorang sulit membaca dan menulis. Saya ingat betul betapa saya kesulitan melewati awal-awal masa SD saya, karena meskipun tahu huruf saya sama sekali tak bisa membaca. Membaca dan menulis adalah hal yang mengerikan buat saya, makanya tak heran setahun pertama prestasi sekolah saya buruk, karena setiap mengerjakan ulangan saya hanya menebak.

Seiring dengan waktu saya bisa membaca. Itupun dengan perjuangan keras ibu saya. Namun, tulisan saya masih jauh dari sempurna. Ejaan yang kebolak-balik ciri khas kaum dyslexia masih tertinggal. Termasuk kesulitan mengenali hal sepele, seperti kiri dan kanan.

Setelah saya bisa membaca dan menulis, tiba-tiba prestasi sekolah saya yang semula masuk dalam deretan ranking terbawah langsung melesat menjadi nomer 1 di kelas, begitu terus hingga SMA. Sayangnya di SMA saya yang unggulan itu ada banyak anak berbakat yang membuat saya kesulitan masuk di deretan 3 besar.

Singkat cerita, sejak bisa membaca dan menulis saya tahu persis kalau passion saya adalah menulis karena saya suka membaca. Entah sudah berapa ratus sajak yang saya tulis sejak SD hingga SMP. Di bangku SMA, imajinasi saya pun mulai liar, saya mulai menulis cerpen. Saya pun sudah meniatkan langkah menjadi penulis. Masuk kelas bahasa dan melanjutkan S1 Sastra. Namun, sayang sekali saat itu di SMA saya tak ada kelas bahasa. Lagipula nilai pelajaran eksakta saya tidak buruk, seperti kebanyakan orang yang dipaksa masuk bahasa karena nilai eksakta jeblok. Sebaliknya saya ngotot masuk bahasa dengan nilai-nilai eksakta yang cemerlang. Orang bilang saya bodoh, karena di luar sana banyak orang yang sangat ingin masuk kelas IPA dengan nilai yang pas-pasan sedangkan saya?

Ah sudahlah, saya pun akhirnya masuk IPA dan keluar dengan cemerlang. Namun cita-cita saya untuk menjadi mahasiswa sastra pun kandas karena orang tua saya menginginkan saya jadi PNS atau pekerja kantoran. Nilai saya yang cemerlang lebih baik jadi modal untuk jadi insinyur pertanian di IPB. Menurut mereka menulis dan menjadi seniman tidak menghasilkan uang.

Berkuliah bukan di tempat yang saya inginkan, membuat saya mulai ‘nakal’. Saya malas kuliah, sering bolos dan melarikan diri ke perpustakaan untuk membaca. Meski malas kuliah, saya tergolong rajin mengerjakan paper atau esai. Karena cuma di tugas itu saya bisa bersenang-senang mengolah kata, menulis sepanjang yang saya mau. Makanya tidak mengherankan kalau esai saya selalu paling panjang di kelas. Kalau kebanyakan mahasiswa hanya menulis 1-2 halaman saja. Maka saya mengetik rapih belasan halaman.

Lulus kuliah saya berhasil kerja kantoran. Namun, keinginan saya untuk menulis semakin menggebu-gebu. Novel perdana saya “Surat Cinta Saiful Malook” mengawali sepak-terjang saya di dunia kepenulisan. Akhirnya orang tua saya pun yakin kalau menulis adalah jalan hidup saya. Setelah itu ada 5 buku, ratusan artikel dan cerpen yang nangkring di media online, cetak atau pun blog-blog saya yang bertebaran di internet.

Jadi kalau ditanya, mengapa saya 'nge-blog'? Bagi saya, 'nge-blog' lebih dari terapi jiwa agar tetap waras menjalani hari. Menulis membantu saya mengekspresikan perasaan dengan lebih jujur. Karena bagi saya, blog itu seperti online diary. Dan suatu hari, bila saya tiada. Tulisan ini akan tetap dibaca oleh siapapun. Makanya saya berupaya agar tulisan saya bisa jadi amal jariyah bukan dosa jariyah.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial