Pernahkah kamu, terjebak dalam perdebatan siapa yang benar dan siapa yang salah? Masing-masing saling tunjuk kalau dia yang benar dan lawan bicara yang salah.
Saya pernah! Dan tak jarang saya ikut ngotot mempertahankan pendapat. Walau sering juga saya memilih diam dan legowo. Tetapi untuk kasih tertentu, saya memilih pergi, diam seribu bahasa tetapi menyimpan 'dendam'. Dan kalau tidak tahan juga, saya tulis, biar saja dunia tahu.
Saya bukan tipe orang yang mudah menyampaikan rasa lewat lisan. Biasanya untuk hal tertentu yang menguras emosi, saya malah pilih menangis ketika lawan bicara saya berbicara keras penuh emosi. Rasa tersampaikan sempurna lewat tulisan.
Lalu apakah benar kalau saya salah, dia yang jadi lawan bicara saya benar? Apakah benar kebenaran itu relatif, tergantung dari kacamata siapa?
Sebagai muslim, saya percaya bahwa ada kebenaran mutlak. Kebenaran yang hakiki dan sejati, sesuatu yang dapat melihat dan menyatakan keseluruhan realitas secara objektif, apa adanya. Kebenaran mutlak ini bersifat universal, kekal, integral, tanpa cacat dan merupakan suatu acuan atau standar bagi semua kebenaran relatif. Kebenaran mutlak itu bersumber dari kitab suci Al Quran, dan norma-normanya tergambar jelas di hadits.
Seperti nama lain dari Al Qur’an adalah Al-Furqan. Al Furqan sendiri jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya pembeda (benar dan salah.) Allah SWT berfirman dalam Q.S Al Furqan ayat 1:
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqaan [25]:1)
Sudah seharusnya, kita menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai standar kita untuk menilai benar dan salah dari suatu perbuatan, bukan dengan standar yang lain.
Dan kalau ada yang bilang, kebenaran itu relatif. Ya benar juga!
Tetapi level kebenaran relatif, di bawah kebenaran mutlak yang merupakan acuan dari segala kebenaran di muka bumi ini. Karena kebenaran relatif adalah kebenaran manusia dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas terhadap kebenaran mutlak tersebut. Makin dekat kebenaran relatif itu kepada kebenaran mutlak maka ia makin benar. Jadi yang relatif harus mendekati yang absolut, subyektivitas harus mengejar obyektivitas, untuk memperkecil kesenjangan di antara keduanya.
Namun ada juga segelintir orang yang merasa kebenaran relatifnya adalah kebenaran mutlak, inilah yang disebut kebenaran virtual. Mereka merasa 'sok mahatahu' maka mereka pun merasa ketinggian ilmunya lebih mutlak dibenarkan dari ketentuan Allah.
Sikap ‘sok mahatahu’ membuat kita menjadi otoriter, merasa paling benar, sombong, kasar , mudah menuduh dan menghakimi. Kita sering tidak sadar bahwa sehebat apapun penalaran kita dan seluas apapun pengetahuan kita, masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui. Sangat mungkin jika yang belum kita ketahui tersebut akan mengubah secara drastis semua pandangan kita yang lama, jika itu terungkap.
Jadi, "Kalau aku salah, memangnya kamu pasti benar?"
Saya mungkin hanya remah-remah rengginang di kaleng bekas Khong Guan. Namun saya yakin sekali, bahwa kebenaran mutlak itu ya Al Quran dan Hadits.
***Untuk kamu yang merasa paling benar! Lo gue end!
Comments
Post a Comment