MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Keliling Indonesia


Sebenarnya impian saya sejak kecil adalah  berpetualang menjelajahi dunia sambil menulis. Namun, takdir malah membawa saya pada kisah yang lain.
Saya memang jarang bepergian, tetapi setidaknya saya berhasil mewujudkan sebagian impian masa kecil saya menjadi penulis. Padahal saya sempat diduga mengidap dyslexia karena susah membaca. Saya melewati tahun pertama di SD dengan kesulitan membaca. Huruf-huruf terlihat mengerikan, dibanding angka-angka. 
Lulus IPB, diterima di PT Samudera Indonesia sebagai peneliti muda, membuat kelayakan usaha batubara di bisnis transportasi yang merupakan bisnis inti dari Samudera Indonesia Group. Siapa nyana, di sinilah debut awal saya sebagai penulis dimulai. Sebuah novel cinta yang berjudul ”Surat Cinta Saiful Malook” mengawali karya-karya berikutnya. Setelah itu ada enam buku yang tercipta, antara lain; The Chosen Prince, Sekuntum Laila dan Haru Biru si Ibu Baru. Serta ratusan cerpen dan artikel yang tersebar di sejumlah media.
Saya pernah menghabiskan tahun-tahun terbaiknya  di Metro TV. Sempat menjajal menulis skenario layar kaca, sempat pula menjadi bagian penting dari jakartakita.com, menjadi guru tanpa bayaran untuk mengisi waktu luang.
Hingga pada suatu hari, pandangan saya tertumbuk pada terjemahan Surah Al Mulk ayat 15 yang berbunyi, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Ternyata itu adalah salah satu landasan ayat yang mendorong umat Islam untuk ‘travelling’. Tujuannya tentu saja, agar manusia bersyukur dengan kelimpahan rezeki di bumi, dan dapat mengambil pelajaran dari setiap tempat yang dikunjungi.
Tetiba ada semangat yang membuncah di dada untuk kembali mewujudkan mimpi masa kecil menjadi penulis jalan-jalan atau travel writer. Lalu bagaimana saya harus memulainya?
Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan satu langkah pertama. Begitu lah pepatah kuno berujar, seperti itu jualah falsafah murni dalam kehidupan nyata yang kita jalani. Memulai berarti merencanakan demi mencapai tujuan. Tetapi berencana saja tidak akan jadi apa-apa tanpa dilaksanakan.
            Salah satu misi jalan-jalan saya yang paling berkesan, adalah ketika saya berpetualang di pedalaman Banten untuk melihat dari dekat kehidupan Suku Baduy. Suku Baduy terbilang unik dan berbeda dari lainnya. Mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat dan saya memberi jempol untuk orang-orang yang masih bertahan dengan kehidupan di Baduy khususnya Baduy Dalam.
Ciri khas dari Suku Baduy Dalam ini adalah mereka selalu berjalan kaki ke manapun mereka pergi. Pakaiannya juga mudah dikenali yakni putih dan biru tua, serta memakai ikat kepala berwarna putih. Sesekali masyarakat Suku Baduy Dalam terlihat di ibu kota, walaupun bisa dibilang sangat jarang bila dibandingkan dengan masyarakat Suku Baduy Luar.
Sedikit lebih modern dari Suku Baduy Dalam, Suku Baduy Luar yang dapat dikenali dengan pakaiannya yang serba hitam, telah mengenal teknologi dan ada yang sudah menggunakan telepon sebagai alat komunikasi. Mereka juga sudah menggunakan peralatan rumah tangga masa kini seperti kasur dan bantal untuk alas tidur, piring, serta gelas kaca dan alat plastik.
            Dari akses kendaraan terakhir di Terminal Ciboleger, Rangkas Bitung, Banten, Butuh setidaknya 4-5 jam jalan kaki, turun naik perbukitan untuk mencapai perkampungan Suku Baduy Dalam. Saya ingat persis, betapa saya hampir saja menyerah saat harus berjalan menanjak di ‘Tanjakan Penyesalan’ saat terik panas matahari siang bolong seperti membakar kulit. Tetapi semua lelah terbayar saat akhirnya saya dan rombongan tiba di Perkampungan Baduy Dalam.
            Lambri, anak tetua adat Baduy Dalam yang menjadi pemandu kami saat itu sempat berkali-kali mengingatkan kami agar tidak menggunakan peralatan modern, sabun, odol, shampoo di Baduy Dalam. Berfoto ria adalah hal terlarang untuk dilakukan di Baduy Dalam.
            Namun, saya yang kala itu tidak percaya akan hal-hal klenik, mengabaikan pesan itu. Diam-diam saya mengambil foto di rumah salah satu tetua adat Baduy Dalam dengan tangan kanan saya. Qadarallah, sepulang dari Baduy saya mengalami kecelakaan parah yang mengakibatkan tangan kanan saya remuk terlindas ban mobil. Butuh setidaknya tiga bulan masa pemulihan, hingga akhirnya saya bisa beraktifitas kembali normal.
            Pada hari kelima pasca kecelakaan, Ayah Nani, salah satu tetua adat Baduy Dalam dan dua anak bujangnya tetiba mengunjungi saya di Jakarta. Mereka butuh dua hari dua malam berjalan kaki untuk mengunjungi saya, tanpa alat komunikasi apapun untuk tanya alamat. Mereka datang hanya untuk membawakan gelas bambu dan ramuan untuk mempercepat luka mengering.
            Mukanya saya mendadak pucat, takut sekaligus bercampur malu ingat kejadian bagaimana saya dengan isengnya memotret di dalam rumahnya di Baduy Dalam. Saya yakin dia tahu tentang itu, juga tentang karma yang harus saya alami. Namun, syukurlah mereka sudah memaafkan. Selepas sembuh, saya pun kembali mengunjungi Baduy Dalam. Namun saya tidak berani lagi melanggar aturan adat. Bukankah “Dimana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung”?
            Tentu saja petualangan saya tidak berhenti hanya di pedalaman Baduy. Saya pun melanjutkan petualangan berkeliling Indonesia dari snorkeling di perairan Kepulauan Seribu, naik turun gunung, keluar masuk hutan lindung, hingga menyusuri aliran sungai bawah tanah di dalam gua dengan menggunakan perahu karet. Selama kurang lebih 45 - 60 menit, saya merasakan sensasi  menyusuri sungai di gelapnya perut bumi sepanjang 300 m dalam Gua Pindul menggunakan ban pelampung, life vest dan head lamp.
Sambil merasakan dinginnya air sungai yang membelai tubuh di tengah gua yang minim pencahayaan, seorang pemandu bercerita tentang legenda Joko Singlulung yang merupakan asal-usul Gua Pindul. Di gua ini terdapat beberapa ornamen cantik seperti batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan stalagmit yang indah. Sebuah pilar raksasa yang terbentuk dari proses pertemuan stalaktit dan stalagmit yang usianya mencapai ribuan tahun menghadang di depan.
Cerita tak sampai di situ, masih ada tentang keindahan ‘sunrise’ di Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang konon tak kalah indah dengan pemandangan saat ‘sunrise’ di Bagan Myanmar. Atau Candi Sukuh Karang Anyar, yang serupa dengan piramida peninggalan suku maya bernama Chicen Itza, di Meksiko. Juga Candi Prambanan yang mirip Angkor Wat di Kamboja, dan masih banyak lagi.
Kalau boleh, saya masih ingin terus berpetualang keliling Indonesia, mengabadikan dalam bentuk tulisan, setiap jengkal keindahan dan keunikan budaya di bumi pertiwi yang sungguh tak kalah bila dibandingkan obyek wisata luar negeri. Saya pikir, Indonesia hanya butuh lebih banyak travel writer yang tulisannya bisa membius orang untuk berpetualang di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial