Sebenarnya impian saya sejak kecil adalah berpetualang menjelajahi dunia sambil menulis.
Namun, takdir malah membawa saya pada kisah yang lain.
Saya memang jarang bepergian, tetapi setidaknya saya
berhasil mewujudkan sebagian impian masa kecil saya menjadi penulis. Padahal
saya sempat diduga mengidap dyslexia karena susah membaca. Saya melewati tahun
pertama di SD dengan kesulitan membaca. Huruf-huruf terlihat mengerikan,
dibanding angka-angka.
Lulus
IPB, diterima di PT Samudera Indonesia sebagai peneliti muda, membuat kelayakan
usaha batubara di bisnis transportasi yang merupakan bisnis inti dari Samudera Indonesia
Group. Siapa nyana, di sinilah debut awal saya sebagai penulis dimulai. Sebuah novel cinta yang berjudul ”Surat
Cinta Saiful Malook” mengawali karya-karya berikutnya. Setelah itu ada enam
buku yang tercipta, antara lain; The Chosen Prince, Sekuntum Laila dan Haru
Biru si Ibu Baru. Serta ratusan cerpen dan artikel yang tersebar di sejumlah
media.
Saya pernah menghabiskan tahun-tahun terbaiknya di Metro TV. Sempat menjajal menulis skenario
layar kaca, sempat pula menjadi bagian penting dari jakartakita.com, menjadi
guru tanpa bayaran untuk mengisi waktu luang.
Hingga
pada suatu hari, pandangan saya tertumbuk pada terjemahan Surah Al Mulk ayat 15
yang berbunyi, “Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
Ternyata itu adalah salah satu landasan ayat
yang mendorong umat Islam untuk ‘travelling’. Tujuannya tentu saja, agar
manusia bersyukur dengan kelimpahan rezeki di bumi, dan dapat mengambil
pelajaran dari setiap tempat yang dikunjungi.
Tetiba ada semangat yang membuncah di dada
untuk kembali mewujudkan mimpi masa kecil menjadi penulis jalan-jalan atau travel writer. Lalu bagaimana saya harus
memulainya?
Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan
satu langkah pertama. Begitu lah pepatah kuno berujar, seperti itu jualah
falsafah murni dalam kehidupan nyata yang kita jalani. Memulai berarti
merencanakan demi mencapai tujuan. Tetapi berencana saja tidak akan jadi
apa-apa tanpa dilaksanakan.
Salah
satu misi jalan-jalan saya yang paling berkesan, adalah ketika saya
berpetualang di pedalaman Banten untuk melihat dari dekat kehidupan Suku Baduy.
Suku Baduy terbilang unik dan berbeda dari lainnya. Mereka masih menjunjung
tinggi adat istiadat dan saya memberi jempol untuk orang-orang yang masih
bertahan dengan kehidupan di Baduy khususnya Baduy Dalam.
Ciri khas dari Suku Baduy
Dalam ini adalah mereka selalu berjalan kaki ke manapun mereka pergi. Pakaiannya
juga mudah dikenali yakni putih dan biru tua, serta memakai ikat kepala
berwarna putih. Sesekali masyarakat Suku Baduy Dalam terlihat di ibu kota,
walaupun bisa dibilang sangat jarang bila dibandingkan dengan masyarakat Suku
Baduy Luar.
Sedikit lebih modern dari
Suku Baduy Dalam, Suku Baduy Luar yang dapat dikenali dengan pakaiannya yang
serba hitam, telah mengenal teknologi dan ada yang sudah menggunakan telepon
sebagai alat komunikasi. Mereka juga sudah menggunakan peralatan rumah tangga
masa kini seperti kasur dan bantal untuk alas tidur, piring, serta gelas kaca
dan alat plastik.
Dari
akses kendaraan terakhir di Terminal Ciboleger, Rangkas Bitung, Banten, Butuh
setidaknya 4-5 jam jalan kaki, turun naik perbukitan untuk mencapai
perkampungan Suku Baduy Dalam. Saya ingat persis, betapa saya hampir saja
menyerah saat harus berjalan menanjak di ‘Tanjakan Penyesalan’ saat terik panas
matahari siang bolong seperti membakar kulit. Tetapi semua lelah terbayar saat
akhirnya saya dan rombongan tiba di Perkampungan Baduy Dalam.
Lambri,
anak tetua adat Baduy Dalam yang menjadi pemandu kami saat itu sempat
berkali-kali mengingatkan kami agar tidak menggunakan peralatan modern, sabun,
odol, shampoo di Baduy Dalam. Berfoto ria adalah hal terlarang untuk dilakukan
di Baduy Dalam.
Namun,
saya yang kala itu tidak percaya akan hal-hal klenik, mengabaikan pesan itu.
Diam-diam saya mengambil foto di rumah salah satu tetua adat Baduy Dalam dengan
tangan kanan saya. Qadarallah,
sepulang dari Baduy saya mengalami kecelakaan parah yang mengakibatkan tangan
kanan saya remuk terlindas ban mobil. Butuh setidaknya tiga bulan masa
pemulihan, hingga akhirnya saya bisa beraktifitas kembali normal.
Pada
hari kelima pasca kecelakaan, Ayah Nani, salah satu tetua adat Baduy Dalam dan
dua anak bujangnya tetiba mengunjungi saya di Jakarta. Mereka butuh dua hari
dua malam berjalan kaki untuk mengunjungi saya, tanpa alat komunikasi apapun
untuk tanya alamat. Mereka datang hanya untuk membawakan gelas bambu dan ramuan
untuk mempercepat luka mengering.
Mukanya
saya mendadak pucat, takut sekaligus bercampur malu ingat kejadian bagaimana
saya dengan isengnya memotret di dalam rumahnya di Baduy Dalam. Saya yakin dia
tahu tentang itu, juga tentang karma yang harus saya alami. Namun, syukurlah
mereka sudah memaafkan. Selepas sembuh, saya pun kembali mengunjungi Baduy
Dalam. Namun saya tidak berani lagi melanggar aturan adat. Bukankah “Dimana
Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung”?
Tentu
saja petualangan saya tidak berhenti hanya di pedalaman Baduy. Saya pun
melanjutkan petualangan berkeliling Indonesia dari snorkeling di perairan
Kepulauan Seribu, naik turun gunung, keluar masuk hutan lindung, hingga
menyusuri aliran sungai
bawah tanah di dalam gua dengan menggunakan perahu karet. Selama kurang lebih
45 - 60 menit, saya merasakan sensasi menyusuri sungai di gelapnya perut bumi
sepanjang 300 m dalam Gua Pindul menggunakan ban pelampung, life vest dan head lamp.
Sambil merasakan dinginnya air sungai yang membelai tubuh di tengah gua
yang minim pencahayaan, seorang pemandu bercerita tentang legenda Joko
Singlulung yang merupakan asal-usul Gua Pindul. Di gua ini terdapat beberapa
ornamen cantik seperti batu kristal, moonmilk, serta stalaktit dan
stalagmit yang indah. Sebuah pilar raksasa yang terbentuk dari proses pertemuan
stalaktit dan stalagmit yang usianya mencapai ribuan tahun menghadang di depan.
Cerita tak sampai di situ, masih ada tentang keindahan ‘sunrise’ di
Punthuk Setumbu di Desa Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah yang konon
tak kalah indah dengan pemandangan saat ‘sunrise’ di Bagan Myanmar. Atau Candi
Sukuh Karang Anyar, yang serupa dengan piramida peninggalan
suku maya bernama Chicen Itza, di Meksiko. Juga Candi Prambanan yang mirip
Angkor Wat di Kamboja, dan masih banyak lagi.
Kalau boleh, saya masih ingin terus
berpetualang keliling Indonesia, mengabadikan dalam bentuk tulisan, setiap
jengkal keindahan dan keunikan budaya di bumi pertiwi yang sungguh tak kalah
bila dibandingkan obyek wisata luar negeri. Saya pikir, Indonesia hanya butuh
lebih banyak travel writer yang tulisannya bisa membius orang untuk
berpetualang di Indonesia.
Comments
Post a Comment