MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Hujan, Angin dan Rindu


Hujan mengibaskan badannya yang kuyup. Hujan mulai menggigil kedinginan, giginya bergemeratak. Wajahnya pucat pasi.

"Kau baik-baik saja?" Angin cemas.


"Tidak terlalu baik, Angin", wajah hujan memelas.

"Bisa kubantu?"

"Terima kasih, Angin. Aku hanya perlu sedikit hangat." Hujan tersenyum menghangatkan. Namun, hujan menggigit bibirnya perlahan.

"Kamu yakin? Kau tak butuh bantuanku?" Angin tak percaya.

"Iya... lagipula aku tak yakin apakah bantuanmu tidak malah membuatku hanyut dalam nestapa yang tak berkesudahan."

"Nestapa?"

"Iya Angin, layaknya angin lalu, tiupannya malah membuat hujan semakin terasa dingin."

"Oh baiklah", angin pilu merasa tertolak untuk kesekian kalinya.

"Yah aku hanya angin lalu yang tak dianggap ada oleh siapapun. Bahkan oleh rindu yang menghujam ulu hati sekalipun." Angin terdengar sedih.

"Ada apa dengan Rindu?" tanya hujan.

"Rindu bukan milikku... dan tak akan pernah jadi milikku. Rindu yang membara hanya milik kekasih Rindu."

Hujan memandang penuh empati pada angin lalu yang sedang sedih. "Mengapa kau bilang tak mungkin?"

"Karena Rindu sudah lebih lama makan asam garam kehidupan. Sedang aku hanyalah bocah ingusan yang baru merasakan cinta...", Angin menatap hampa.

"Lalu?"

"Biar saja aku jadi angin lalu yang selalu ada untuk Rindu...", ujar Angin pada Hujan.

"Ah kamu gila Angin. Aku bingung!"

"Hujan, sejak kapan orang yang sedang jatuh cinta bisa normal seratus persen?" timpal Angin.

"Lalu apa maksud perhatianmu padaku Angin?" tanya Hujan.

"Hujan, itu semua tulus untukmu..." jawab Angin.

"Lalu?"

"Biar kubantu kau menghapus basahnya air matamu", Angin tersenyum menatap Hujan yang bimbang.

"Biar kubantu mengeringkan segala luka di masa lalu. Biar kubantu membawamu ke bagian lain di bumi ini..." lanjut Angin.

"Lalu Rindu?" tanya Hujan.

"Rindu sudah punya kekasih.... baginya aku hanya angin lalu meski aku punya cinta..." ujar Angin terdengar pahit.

"Maaf Angin.... aku tak bisa... Aku sedang menanti Surya bukan kamu. Aku membutuhkan hangat sang Surya, bukan kamu..." Hujan tak enak hati.

"Karena aku hanya angin lalu yang tak pernah dianggap orang!" Angin marah.

"Bukan begitu Angin", hujan menenangkan.

"Sudahlah hujan! Aku lelah!"

"Aku sudah lelah menjadi angin lalu." Angin menangis sesenggukan. Tekad Hujan sudah bulat, dia menolak Angin.

Angin melesat pergi meninggalkan hujan, sambil membawa luka tak berperi.

P.S: Angin aku cemburu pada hujan....(Rindu)

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial