MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Ulang tahun


Catatan harian bertanggal 21 Maret 2018:

Terlepas dari konsep tasyabuh, saya memang tidak membiasakan diri untuk menganggap hari ulang tahun sebagai hal yang luar biasa selain sebagai pengingat kematian. Malam kelahiran biasanya saya gunakan untuk merenung dan kontemplasi. Bahkan terkadang saya hendak mengabaikan hari lahir.
Tetapi ada yang istimewa di ulang tahun saya tanggal 19 Maret lalu.
19 Maret pagi seperti biasa saya memulai hari dengan mengajar. Pagi yang lenggang kelas yang biasa ramai pun lengang. Di akhir kelas ada satu santri yang menyelamati saya. Saya heran bagaimana bisa tahu, padahal seingat saya, saya sudah menyembunyikannya mati-matian.
Kelas jam 15.30 penuh, dan asisten saya tidak datang! Padahal setengah jam sebelumnya saya sudah mengabari agar datang menemani saya. Dan hari itu ada 2 santri berkebutuhan khusus yang ikut serta. Bisa dibayangkan bagaimana lelah hayati dan mental bercampur jadi satu. Dan saya setelah hafalan, saya sendirian mensupervisi bacaan Iqra hampir 20 anak. Kelas hampir chaos dan tak ada yang membantu. Hampir nangis karena kesal dan lelah.
Jam 17.00 saya sudah siap untuk kelas selanjutnya walau saya sebetulnya sudah kehabisan tenaga dan mau 'ngomel' dengan asisten guru yang bertugas hari itu. Biarpun cuma TPA gratisan kita memang mengadopsi cara belajar montessory. Jadi harus ada guru bantu.
Kelas baru akan dimulai dengan hanya 3 santri yang datang. Tetiba dari arah kiri ada rombongan santri ibu-ibu dan anak-anak berpakaian rapi seperti hendak kondangan dengan membawa tumpeng, kue tart, kado-kado seperti seserahan orang kawinan. Lengkap dengan ondel-ondel dan musik Betawi.
Syok!

Saya sampai sulit berkata-kata. Seumur-umur belum pernah ulang tahun dirayakan seheboh itu bak pesta rakyat. Yang lebih terharu adalah ada anak-anak yang tidak jajan berhari-hari demi untuk memberikan sebuah kado sederhana untuk saya.
Ya Allah! Kadonya sudah seperti kado nikahan. Banyak! Alhamdulillah.
"Kenapa kalian melakukan ini semua? Ya Allah uangnya dari mana?"
Mau tahu apa jawaban dari mereka?
"Ini semua tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang ibu lakukan."
Saya menangis haru. Padahal kalau mereka tahu, justru mereka yang dikirim Allah untuk menemani saya di masa-masa sulit dan menjadikan saya seperti ini.
Masya Allah Tabarakallahu.
Alhamdulillah... Terima kasih sudah menjadi bagian dari episode terindah dalam hidup saya.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial