MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Tahan Lapar

Catatan harian 9 Juli 2018:

Kesan pertama saya dengan kehidupan pesantren adalah. Santri harus tahan lapar. Bagaimana tidak? Mereka baru sarapan jam 8 pagi. Makan siang jam 2 siang, dan makan malam jam 8 malam. Saya saja yang dewasa merasa lapar bukan main! Apalagi santri?
Dan dibalik perjuangan santri menahan lapar, ada tim memasak yang bekerja hampir nonstop dari pagi sampai malam. Memang sudah kesepakatan kami untuk memasak dan menyediakan makan seluruh santri ponpes, agar kami tidak merepotkan. Kami yang belanja dan menyusun menu.
Sebagian perbekalan beli di Jakarta. Rafika Afriani dan beberapa wali santri bahkan memasak ayam dan tempe ungkep.
Kata Umi, istri Abi, santri biasa makan hanya dengan tahu/tempe. Makan telur jarang sekali, apalagi ayam atau daging. Itupun satu baki, mereka hanya dijatah tempe 3 potong, tahu 3 potong.
Padahal minimal ada 4 yang makan.
Maka kami merancang menu sebaik-baiknya yang cukup enak dan sudah pasti bergizi. Selama kami di sana, santri akhirnya merasakan makan telor, ayam, daging, sosis, nugget, camilan, teh manis dan buah.

Saya bisa lihat bagaimana wajah mereka terlihat sumringah saat melihat baki-baki mereka berisi makanan yang tergolong mewah untuk mereka. Mereka jarang makan sayur berkuah, karena tak ada mangkok. Katanya kalau sesekali masak sayur asam, para santri mencari gelas aqua bekas untuk diisi kuah sayur asem dengan sedikit ampas. Jadi mereka makan sambil minum kuah sayur asem.
Makanya waktu Umi tahu kami masak sop daging, Umi bilang, “biar santri kami makan sop-nya di baki saja.”
Tentu saja kami bengong, bu Mia salah satu tim masak kami bilang, “Gak usah umi, kami beli mangkok dan sendok, jadi biar kali ini santri makan sop daging di mangkok masing-masing.”
Umi pun tersenyum. Waktu makan tiba, santri menyerbu mengambil sop daging dan baki berisi bakwan, sosis, kerupuk dan sambal. Mereka girang.
Sarapan pagi, kami membuat teh manis hangat. Para santri pun menyerbu dengan heboh, maklum mereka hampir tidak pernah minum teh manis hangat di pondok.

Hari Jumat kami sengaja menambah menu buah dan es. Dan tentu saja para santri pesantren gembira.
Sebenarnya kami dari Rumah Quran Ar Rahman sudah biasa masak banyak, tetapi hanya sekali dalam seminggu yaitu di hari Jumat. Dan kali ini kami harus memasak 3 kali sehari dengan porsi hampir 2 kali lipat Jumat berkah.
Mau tahu bagaimana sibuknya kami memasak? Hanya ada 4 perempuan dewasa yang ikut rombongan kami, yaitu Ibu Eko, Ibu Mia, Lisda dan saya. Maka Cuma kami yang harusnya bertanggung jawab atas masakan. Tapi pada kenyataannya hanya Ibu Mia yang paling banyak berjibaku di dapur, dibantu santri perempuan. Saya lebih banyak keliaran.

Sejak subuh, tim dapur sudah sibuk memasak. Memasak nasi menggunakan panci kukusan yang besar butuh lebih dari 4 kali masak. Sekali masak butuh 45 menit. Ya Allah lama banget! Padahal sudah dibantu rice cooker juga. Belum masak yang lain, dengan kondisi kompor gas yang sudah ‘oleng’, panci terbatas.
Alhasil, selepas sarapan tim dapur sudah harus masak untuk makan siang, kelar makan siang harus sudah siap masak untuk makan malam. Capek tapi menyenangkan… Insya Allah berkah.
Kebayangkan bagaimana kami harus menahan lapar pada saat yang sama harus bekerja keras supaya makanan siap. Makanya saya sempat marah besar ketika salah seorang santri tak mau mencuci baki bekas makan karena sedang sibuk makan jajanan, padahal kami sedang buru-buru menyiapkan makan siang. Semakin marah ketika santri menolak juga waktu saya suruh mengangkat sop di panci besar.
Saya yang sedang lapar dan capek karena habis berbelanja marah. Saya bilang ke semua santri agar semua saling bantu tak peduli laki atau perempuan karena ini untuk kepentingan bersama.
Alhamdulillah sepanjang 3 hari 2 malam kami semakin belajar bagaimana saling berbagi, dan bekerja sama untuk ke pentingan bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial