MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Suratan Takdir



Catatan harian ini bertanggal 18 September 2016. Dan inilah pertanda awal yang diberikan Allah untuk prahara 2 tahun berikutnya yang membuat saya pergi meninggalkan Rumah Quran Ar Rahman dan Sukabakti:

Beberapa hari belakangan ini saya sedang dirundung kesedihan. Bukan kesedihan biasa, tetapi kesedihan akut buntut dari serentetan peristiwa yang membuat stress. 

Tak terbayangkan saya harus berhadapan dengan dua institusi besar di negeri ini demi untuk memperjuangkan nasib saya yang menjadi korban kebobrokan akut dari sebuah sistem. Lucunya saya baru tahu dipecundangi setelah bertahun-tahun. Sedikit telat, namun masih menaruh harap masih banyak orang jujur di negeri ini.

Beberapa bulan belakangan ini saya memang bergerilya ke dua institusi ini hanya demi mengoreksi lembaran kertas dokumen terpenting dalam hidup saya. Merangsek masuk ke jajaran eselon dengan membawa seabrek bukti demi memperkuat kasus saya. Minta tolong dengan sejumlah sahabat baik di kedua institusi untuk bisa masuk ke dalam. Dan setelah berbulan-bulan, kesimpulannya saya harus menyelesaikannya di pengadilan.

Astaga?!? Pengadilan…sebuah kata yang bahkan belum pernah terpikirkan sama saya sama sekali sepanjang hidup. 

Saya pun ikut mekanisme pengadilan, dari mengumpulkan dan memverikasi bukti, mengumpulkan saksi,  menggandeng pengacara, dan berlari kesana-kemari mencari kepastian. Di tengah keputusasaan, ada oknum yang mencoba menggoda saya dengan ‘jalan damai’. Saya pun percaya diri untuk tetap maju ke pengadilan, walau biaya yang saya keluarkan mungkin lebih banyak daripada ‘jalan damai’ yang tidak diridhai Allah.

Hingga hari H, biidznillah (dengan izin Allah) saya yang sudah semangat 45 menghadiri sidang harus kecewa. Karena kebetulan saya bertemu dengan hakim ketua yang sudah tua dan tak tahu perkembangan zaman. Bahkan dia tidak mengerti apa maksud saya, meski sudah dijelaskan oleh pengacara saya. Saya dibentak. Mungkin karena saya sudah stress berat, saya pun menangis tergugu di ruang sidang. 

“Saya korban Yang Mulia…!” ucap saya lirih. Saya sempat melihat anggota majelis hakim yang lain berusaha menego hakim ketua sambil menyemangati saya yang mulai tak bisa menguasai emosi saya. Saya menangis tergugu. Hakim ketua memutuskan sidang ditunda.

Saya keluar dengan langkah gontai. Air mata saya deras menetes. Saya marah pada sistem. Saya marah pada semuanya. Shalat Dzuhur memang sedikit meredakan amarah tapi saya masih sedih sesedih-sedihnya.

Sesampainya di rumah saya kembali menangis sejadi-jadinya. Hingga saya tertidur sendiri karena lelah. Rasanya putus asa sekali. Daripada saya nekat lompat dari pohon toge. Astaghfirullahalazhim. Lebih baik saya tidur.

Bangun tidur, tangispun dilanjutkan. Namun tiba-tiba saya ingat belum shalat Ashar. Selepas shalat Ashar, saya ingat belum setoran ODOJ (One Day One Juz). Kelar sejuz, saya ingat belum menderas hafalan quran saya. Kelar semuanya sambil menunggu adzan Maghrib, tiba-tiba Al Quran saya terbuka tanpa sengaja.

“Dan tiada sehelai daun yang jatuh tanpa sepengetahuan Allah…” (QS. Al An’am: 59).

“Dang!” Hati saya tersentuh! Ya Allah! Jangankan hanya kasus saya. Daun-daun yang berguguran di seluruh penjuru dunia pun atas seizin Allah. 

Sebetulnya perkara mudah sekali bagi Allah, pencipta semesta untuk melakukan apapun. Namun Dia memilihkan skenario ini untuk saya. Saya terpilih dari milyaran orang di dunia, untuk menjalani drama kehidupan yang unik ini karena Allah yakin, saya bisa melewatinya seperti yang sudah-sudah.

Saya pikir kehilangan Saiful Malook dan mencari keberadaannya di Peshawar saat perang Afghanistan sedang berkecamuk dengan meminta bantuan militer Pakistan 14 tahun lalu sudah paling gila. Saya pikir mendengar identitas terselubung dari suami yang membuat saya diteror bertahun-tahun dan hampir mati oleh mafia sudah paling muskil. 

Saya pikir kecelakaan parah di akhir tahun 2010 yang membuat saya sempat lumpuh sudah paling heboh. Saya pikir menuntut sebuah perusahaan Internasional karena salah satu karyawannya mengobrak-abrik email dan socmed saya, hingga saya harus diinterogasi dengan badan intelijen bule berbahasa Inggris totok sudah sangat menantang. 

Dan kini saya berada di titik ini, memperjuangkan nasib saya yang bahkan saya tidak tahu apakah ada jalan di depan. Beruntung saya dikelilingi keluarga dan sahabat penghebat yang selalu siap sedia menguatkan saya yang terluka dan putus asa.

Terkadang di antara doa panjang saya. Saya menyelipkan doa, “Ya Allah, please…Aku mau hidup seperti kebanyakan orang normal!”. Dalam benak saya hidup di desa, jauh dari internet, dengan uang secukupnya lebih membahagiakan. Yah namanya hidup ‘sawang-sinawang’. Saya yakin di luar sana banyak orang yang setengah mati menginginkan hidup seperti saya. 

“Whats next?” Saya tidak tahu. Mungkin saya diam dahulu sambil mengumpulkan serpihan hati yang berceceran sambil menyusun strategi. 

Alhasil sejak kamis malam hingga pagi ini, Saya belum keluar rumah sama sekali. Bahkan saya menolak berbicara atau whatsApp dengan banyak orang. Apakah saya mengurung diri dan meratapi nasib? Tidak juga.

Dua puluh empat jam pertama memang kerjaan saya hanya menangis dan menangis di antara waktu shalat. Bahkan saya mesti meniadakan kelas mengaji setiap petang. Karena saya tidak mau belasan anak-anak melihat mata saya yang sembab.

Sebenarnya hari Jumat saya masih mau malas-malasan dan menangis saja di kasur. Hingga seorang rekan mengingatkan. “Hey…itu proposalnya dong…”.

Astaga! Saya sudah kelewatan dua hari karena terlalu fokus dengan kasus saya. Saya lupa kewajiban profesional saya. Akhirnya seharian itu saya sibuk menyelesaikan draft. Hari-hari selanjutnya, masih di rumah dan sedih. Tetapi saya mengerjakan banyak hal.

Apakah episode yang ini mau dijadikan novel juga? Ya sepertinya…let see…

Terima kasih untuk semua orang-orang yang sudah mengawal saya melewati kasus ini. Saya tahu, terima kasih saja tidak cukup. Saya tambahkan doa yang banyak saja bagaimana.

Semoga curhatan ini cukup dijadikan alasan, mengapa saya lambat sekali menyerahkan proposal . Asal tahu saja saya mengerjakannya sambil berderai air mata. 

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial