MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Siti Bisa Ngaji


Catatan harian ini bertanggal 27 Oktober 2016:

Hujan mengguyur bumi sedemikian derasnya di siang hari. Saya pun sudah merebah di ranjang empuk siap melabuhkan mimpi di siang yang sejuk. 

Saya hampir terlelap, kalau tidak mendengar suara ketukan pintu dan teriakan salam yang cetar membahana badai. Siapa gerangan perempuan yang demikian semangatnya mengetuk pintu. 

Saya melongok ke bawah lewat jendela, sembari berteriak menjawab salam dan memberi tahu kalau saya akan turun. Buru-buru saya menyambar mukena dan bergegas menuruni tangga menemui sang tamu. 

Saya pun membuka pintu, menatap bingung dengan perempuan berpakaian sederhana di hadapan saya. Mungkin dia menangkap kebingungan saya. Dia pun segera memperkenalkan diri.

"Saya ibunya Siti, ini mau nanya. Temen sekelas Siti ada berapa ya?" Dengan logat Betawi pinggiran.

Otak saya 'loading' agak lama. Berusaha mengingat-ingat sosok Siti. Gadis kecil belum genap 10 tahun yang tiga bulan lalu hanya berani mengintip dari balik pagar tetumbuhan perdu saat saya dan anak-anak mengaji. Hingga saya menawarinya untuk bergabung. 

"Bayar gak bu?" Tanyanya takut-takut. Saya tersenyum sambil menggeleng.

Keesokan harinya dia kegirangan menyambangi rumah saya. Mulai hari itu, saban sore dia belajar mengaji dengan jilbab dan baju yang itu-itu saja. 

Meski sebenarnya dia agak kesulitan berkosentrasi namun kegigihannya untuk belajar mengalahkan segalanya. Lambat tapi pasti akhirnya dia berhasil lulus Iqra 6 dan lanjut ke Al quran. 

"Bu..." Perempuan itu menegur saya hingga saya terjaga dari lamunan.

"Oh, teman sekelas Siti di Shift sore ada 9 orang bu. Ada apa ya?" Saya penasaran.

"Siti pan udah lulus Iqra yak?" 

"Iya... Sekarang sudah Al Quran juz 1. Alhamdulillah", jawab saya.

"Nah critanya nih mau bikin syukuran kecil-kecilan. Udah nazar dari lama, kalo Siti bisa ngaji Al Quran mau bikin syukuran gitu bu..." Mata perempuan berusia empat puluhan itu berbinar-binar bangga.

"Oh gitu..."

"Boleh bu?"

"Boleh dong bu..." Saya sambil tersenyum melihat betapa antusiasnya perempuan itu.

Tiba-tiba saya jadi terharu. Itulah ibu-ibu, tidak ada kesuksesan anak yang terlalu kecil untuk dibanggakan. 

Demi Anak, walaupun tak punya uang ya kalau bisa 'diada-adain'. Apalagi kalah hanya untuk perayaan kecil atas kesuksesan anaknya. 

Dan hari ini, kami berpesta kecil merayakan Siti memulai langkahnya di Al Quran juz 1. Dan Siti juga salah satu murid saya yang hafalan Al Qurannya paling banyak loh.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial