MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Seto

Momen tuker kado

Catatan harian 7 Juli 2017:

Seto, pemuda tanggung yang belum genap lima belas tahun itu berdiri di hadapan saya. Dia menunduk canggung.

"Pulanglah nak... kamu harus pulang ikut bunda kamu kalau tidak...", saya sambil menahan tangis dan sakit kepala.

"Saya tidak mau bu... saya tidak mau pulang... saya mau di sini sampai piknik kelar", suaranya mulai bergetar. Matanya terlihat memerah.

"Kamu harus pulang... atau....", sebenarnya saya mau bilang saya yang pulang.

Seharusnya Seto tidak pernah ikut rombongan piknik kami kalau tidak atas rekomendasi salah satu santri terbaik Rumah Quran Ar Rahman. Seto tak masuk dalam list karena tidak masuk kualifikasi, tetapi takdir yang membawa dia masuk lewat hak suara santri terbaik.

Tiba-tiba ingatan saya mundur ke sehari menjelang piknik. Sepanjang siang hingga malam saya berkeliling ke seluruh orang tua tentang rencana piknik kami. Saya memang tidak memberi tahu kemana akan pergi tapi saya beritahu apa yang akan kami lakukan di sana juga perkiraan kapan pulang. Seharusnya tidak ada masalah.

Alasan saya tidak memberi tahu detil kemana akan pergi karena ini piknik kejutan. Di zaman internet, orang bisa googling tentang apa saja. Dan siapa yang bisa menjaga rahasia, kalau saya kasih tahu satu ortu sudah pasti anaknya akan tahu dan si anak akan kasih tahu yang lain dan lainnya.

Dengan datangnya saya ikut meminta izin, para orang tua berhak mengizinkan atau tidak. Tak ada masalah, toh saya tidak rugi, malah banyak yang masuk daftar cadangan sangat ingin ikut.

Dan orang tua itu terus mencecar saya pertanyaan yang tidak penting termasuk tentang kenapa orang tua tidak boleh ikut, katanya anaknya yang sekolah di sekolah elit kalau outbound orang tuanya ikut. Saya senyum, dalam hati saya bilang, "aihhh itu kalo di sana kan outbound-nya bayar, di sini. Haduh ini siapa sih yang masukin horang kayah di list. Dan memangnya cuma dia yang bisa sekolah di situ? Saya juga jebolan situ, dan saya juga beberapa kali dipanggil untuk jadi pembicara di sekolah itu.... bla bla bla".

Perasaan saya mulai tak keruan saya sudah berniat mencoret si anak dari daftar kalau tak ingat betapa manisnya tingkah laku si anak dan betapa girangnya dia saat tahu dia masuk dalam daftar. Saya tak mau mengecewakan si anak. Tapi rupanya keputusan saya salah.

Sejak pagi kami tiba di lokasi, saya sudah diberondong whatsapp dan telpon dari si orang tua. Saya tak selalu standby pegang handphone. Saya jawab pendek dan saya langsung masukkan ke grup wali santri agar saya tidak perlu mengulang informasi.

Saya masih diberondong miscalled dan pesan, hingga saya mendengar salah seorang santri memanggil Seto karena ada ibunya. Saya melihat dari kejauhan. Ya Allah, perempuan itu benar-benar datang.

Muka Seto memerah karena malu namun dia menghampiri juga ibunya. Perempuan itu tidak menghampiri saya, padahal dia baru saja memberondong saya dengan miscalled dan pesan.

Akhirnya saya balas dengan kesal di grup, "Maaf bunda Seto, saya tidak selalu available pegang handphone dan membalas pesan. Kalau bunda tidak percaya, baiknya kemarin tidak usah izinkan Seto ikut saya. Saya tidak memaksa Seto ikut, toh Seto aslinya tidak masuk dalam list. Dia masuk karena hak suara dari santri terbaik. Silahkan bunda bawa pulang saja Seto!"

Ibu Seto, marah besar. Dia malah bilang kalau anaknya tidak bodoh dia sekolah di tempat elit yang ada hafalan suratnya juga. Katanya hafalan surat An Naba itu materi kelas satu, cuma karena tidak pernah dipakai lagi jadi lupa. Dia juga menyombongkan kalau Seto hafal surah Al Mudatsir.

Intinya mana ada anak sekampung yang bisa sekolah di tempat elit itu dan hafal surat itu. Hampir saya terpancing dan bilang, "Lah situ horang kayah kenapa ngaji di tempat gratisan. Dan itu balita-balita yang ngaji sudah hafal Ar Rahman loh..."

Saya diam tak merespon. Itu membuat dia makin emosi. Saya diam hingga dia keluar grup dan melanjutkan memaki-maki saya. Tidak hanya dia tapi suaminya.

Awalnya Seto tidak mau pulang. Tapi saya yang memohon agar dia pulang kalau dia sayang saya.

Setelah dia pulang, telepon saya tak berhenti berbunyi. Saya tahu itu dari ayah ibu Seto. Nomer telpon kantor ayah Seto terasa familiar karena saya kan juga pernah sekolah di situ. Ayah Seto meninggalkan pesan whatsapp yang bikin saya makin sakit hati.

Keadaannya saya capek berat, mengurus 27 anak sendirian. Bahkan saya harus naik 3 kali ke wahana flying fox demi menemani anak-anak yang takut tapi ingin mencobanya sambil saya peluk. Dan saya seperti diteror, kepala saya pening antara mau pingsan. Tapi saya pilih menangis. Sudah lama saya tidak menangis, kali itu tangis saya bukan sesenggukan lagi tapi histeris. Anak-anak diam membisu melihat saya menangis.

Hampir sepuluh menit saya menangis hingga lega. Saya sodorkan handphone saya ke salah seorang pendamping agar dia menghapus pesan dan memblokir nomer-nomer itu.

Seharian itu kami bahagia sekali. Hingga kejadian yang merusak mood saya. Akhirnya kami pulang.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial