MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Pilu


Catatan harian bertanggal 16 Juni 2017, ini sudah merupakan tanda awal kedukaan yang memutuskan akhirnya 15 Oktober 2018 Saya mundur dari Rumah Quran Ar Rahman:


Belakangan ini saya diserang kegalauan akut. Semakin hari, terasa perpisahan saya dengan anak-anak kian dekat. 

Ketika spanduk "Rumah Quran Ar Rahman" itu terpasang di halaman basecamp kami. Saya terharu. Saya tidak membayangkan bisa seperti sekarang. Dukungan luar biasa dari banyak pihak yang membuat akhirnya kita benar-benar punya wadah.

Saya mengomentari mitra saya di rumah quran saat dia memotret spanduk kami, "berjanjilah denganku, spirit rumah quran Ar Rahman tetap menyala walau aku pergi".

Matanya mendelik, "mau kemana lo? Jangan bercanda ya bu Risma. Kamu tidak pergi secepat itu bukan?"

Saya menunduk menahan tangis. 

"Lihatlah... bukankah ini yang kita semua impikan. Anak-anak semua mencintai ibu. Juga orang tua mereka. Ibu mau pergi meninggalkan semua ini?"

Padahal saya belum bilang dengan jelas apa maksud saya. Namun dia sudah memberondongnya dengan kata-kata yang semakin mempertanyakan pilihan saya.

Lain waktu saya bilang ke sahabat setia saya bu Eko yang juga murid saya. Perempuan hampir setengah baya itu menangis saat saya bilang, "Yuk, kita atur waktu pikniknya segera. Takutnya ini sekalian farewell party".

"Apa sih? Jangan bercanda ya bu. Kamu tidak akan pergi secepat itu kan?" dia menyelidik. Saya hanya menangis dan menangis. Tanpa bisa menjelaskan.

Hingga saat selepas subuh, saat saya suruh dia mengaji, dia malah nangis sesenggukan. Air mata saya juga menetes pilu. Namun buru-buru saya hapus karena takut ibu-ibu lain melihatnya. Si ibu Eko dengan lirih berkata, "biar giliran yang lain dulu ngajinya". 

Setelah itu kami saling diam, dengan mata kami yang sama-sama sembab. Ibu-ibu yang lain hanya memandang heran.

Ah sudahlah.... Semoga ada jalan lain, agar saya tidak perlu meninggalkan semua ini.

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial