MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Persiapan Mondok

Catatan harian bertanggal 9 Juli 2018:

Dua hari menjelang keberangkatan kami ke Pondok Pesantren An Nur di Desa Parakan, Ciomas Bogor. Kami bahkan belum tahu mau kesana naik apa. Sempat berpikir mau naik kereta saja ke Bogor. Tapi ah, bagaimana kami membawa perabotan kami yang banyak. Kalau kami harus menyewa bus, tentu saja uang kami tidak cukup.
Sisa uang program Ramadhan yang hanya 4,4 juta itu pasti akan ludes dalam sekejap. Belum anggaran makan selama di sana juga donasi. Tapi saya membesarkan hati bendahara kami Lisda Diana.
“Insya Allah ada jalan…”
Akhirnya kami bisa menggenapi hingga 6 juta rupiah.

Rupanya tulisan saya di Facebook mengetuk hati beberapa orang. Setelah sepupu saya menawarkan makan siang untuk lebih dari 100 orang di hari Kamis tanggal 5 Juli 2017. Tengah malamnya, suami sepupu saya Deka Hendro Saprobo mengontak saya.
“Butuh apa saja untuk donasi? Aku punya teman yang punya toko sembako…”
Saya pun kontan menyebutkan semua dari sekian karung beras, sepeti telor, gula garam, hingga deterjen dan peralatan mandi. Dan dia pun menyanggupi untuk memasok. Tentu saja saya yang semula kebingungan bagaimana cara membeli barang-barang itu di Bogor, padahal kami tak punya kendaraan yang standby.
Sehari sebelum keberangkatan, ternyata sepupu saya dan suaminya sudah survey lokasi. Dan lucunya keduanya tidak saling kontak, sepupu saya pergi dengan temannya dan suaminya juga pergi dengan temannya. Bahkan Mas Deka, suami sepupu saya itu memberi saya rute lokasi.
Saya pastikan lagi, “Berapa semuanya mas?”

“Gratis!” jawab mas Deka.
“Loh serius?” Tanya saya masih tak percaya.
“Iya… kebutuhan kamu makan di sana kalau mau catat saja, nanti kubelanjakan.” Tentu saja saya semakin girang, tapi saya menahan diri untuk tidak menyerahkan budget makan kami selama di sana yang sebesar 3 juta rupiah itu untuknya juga. Toh, bantuan sembako dan peralatan mandi yang hampir se-bak mobil pick up itu sendiri sudah cukup mahal.
Setelah dia ada lagi seorang teman alumni IPB yang menyumbang uang cukup besar untuk pesantren, maka saya langsung menyuruh Lisda untuk di amplop kan. Setelah dia ada lagi sumbangan uang, sebelum harus ada akad dulu, itu untuk Rumah Quran Ar Rahman atau Pesantren An Nuur. Kalau untuk Pesantren An Nuur maka langsung di amplopkan saja, kami menyerahkan utuh. Kalau untuk Rumah Quran Ar Rahman makan akan kami gunakan untuk operasional, walaupun akhirnya untuk donasi juga dalam bentuk barang.
Total ada ada 4,4 juta rupiah donasi. Sebesar 2,5 juta langsung diamplopkan karena akadnya untuk pesantren, sisanya untuk operasional Rumah Quran Ar Rahman.
Saya bisa bernafas lega. Akhirnya kami menyewa lagi truk tentara untuk mengangkut 34 orang termasuk saya. Harganya cukup miring walau tak cukup nyaman. Kami meminta hanya mengantar dan menjemput saja, total 1,8 juta.

Masalah transportasi kelar, uang cukup, satu lagi yang kurang .Hendri, santri saya yang paling besar ternyata harus kerja pada hari itu. Hendri sebenarnya masih belia, tapi dia sudah memakan asam garam kehidupan. Sudah bekerja sejak masih ABG, terpisah dari kedua orang tuanya.
Waduh, kalau Hendri tidak ada, maka saya kehilangan salah satu orang yang diandalkan. Dia cekatan, bisa menyetir mobil, mengangkat berat, bahkan melakukan hal-hal mustahil lainnya. Hendri menyerahkan nomer handphone bosnya.
Maka saya inisiatif untuk memintakan izin cuti Hendri agar bisa ikut kami tanggal 5-7 Juli 2018. Saya mengaku sebagai guru ngaji, dan saya ceritakan panjang lebar tentang kegiatan kami. Dan…sang bos mempersilahkan Hendri cuti. Bahkan si bos menitipkan uang 500 ribu untuk tambahan ongkos. Alhamdulillah!!!

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial