MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Nonton Bioskop


Catatan harian ini bertanggal 11 Maret 2017:

Namanya Apid, tentu saja itu hanya nama panggilan si bocah gendut yang supel. Siapa yang tak kenal Apid, bocah yang mudah akrab dengan siapapun. Semua orang suka berteman dengan Apid yang gemar main sepakbola.

Apid adalah sepupu Adam dan Michael bocah Amerika. Apid adalah santri pertama saya. Saya tahu persis perjuangan dia belajar dari Alif hingga kini mulai biaa membaca Al quran meskipun masih terbata-bata.

Apid memang bukan bocah pintar yang bisa dengan cepat menyerap materi. Di sekolah pun nilainya termasuk paling buncit. Tapi Apid punya semangat yang tinggi untuk belajar.

Apid adalah bocah yang senang membantu. Biasanya kalau kita makan-makan, Apid yang laki-laki tak canggung membantu di dapur. Dari mengupas bawang, hingga menumis. Dia juga menjadi humas saya. Saya bahkan mengatakan kepadanya bahwa dia asisten saya. Tentu saja dia girang disebut sebagai "tangan kanan saya".

Namun sayang, setiap saya mengadakan ujian lisan maupun tulisan, nilai Apid termasuk yang paling jelek. Hingga saya tidak pernah memberinya reward apapun. Hingga suatu hari selepas pentas, neneknya yang dipanggil bunda bilang, "Apid kemarin pulang kesal. Dia bilang katanya aku asisten tapi masa gak dapat hadiah apapun seperti teman-temannya".

Saya jelaskan kalau nilai ujian Apid kurang dari 60%. Hafalan Apid pun sangat kurang. Meskipun saya akui, Apid termasuk salah satu santri favorit saya.

Waktu saya bilang ke suami, suami saya pun merasa anak ini istimewa. Dia patut diberi reward istimewa juga, bukan hanya hadiah yang diumumkan di panggung.

Dan siang ini saya memanggil Apid, saya bilang, "hari ini saya akan ajak jalan-jalan kamu, nonton dan makan. Ini adalah reward kamu sebagai asisten saya. Kamu boleh ajak 2 teman yang kamu pikir layak untuk ikut jalan dan makan bersama kita". Apid girang... Dan dia datang kembali membawa 2 teman, Dulah dan Sakti yang sama-sama mengaji dengan saya.

Dulah ini sebenarnya sering jadi bahan pembicaraan saya dan suami. Dia sudah beberapa kali tinggal kelas. Di kelas mengaji pun kemampuannya masih jauh di bawah Apid. 

Fathullah adalah warga kampung yang logatnya Betawi sekali. Kalau dia bicara, semua orang pasti tahu kalau dia Betawi Pinggiran. Dia menyebut "tidak" bukan "kagak" tapi "ora". Kulitnya pun tidak mulus tapi bersisik dan eksim, seperti jarang kena sabun. 

Dulah sama seperti Cindy dan kebanyakan santri lainnya yang belum pernah menginjak mal, apalagi nonton bioskop dan makan di resto. 

Maka pergilah kami ke Bintaro Exchange, mal megah yang tak jauh dari rumah kami. Saya bisa lihat bagaimana Dulah tampak heran dan minder. Mungkin kalau ada yang merekam ekspresi Dulah, mirip seperti adegan di film/sinetron tentang orang kampung pergi ke kota. Matanya jelalatan melihat ke sekeliling, mulutnya melongo. 

Saya tahu persis dia sangat grogi. Bahkan untuk masuk ke dalam pintu kaca saja dia sudah salah tingkah. Saya harus memegang tangannya demi menenangkan batinnya yang berkecamuk. 

Setelah membeli tiket bioskop kami melipir ke resto karena masih ada waktu 1,5 jam sebelum film dimulai. Saya sengaja pilih gerai Pizza, karena Dulah belum pernah makan pizza selain buatan saya yang rasanya gitu deh. 

Dulah lebih banyak diam, dia menikmati makanannya sambil matanya berkeliaran mengawasi sekeliling. Sekalinya berbincang dengan Sakti, pembicaraannya membuat saya rada malu karena dilihat aneh oleh orang-orang. 

Kelar shalat Ashar, kami langsung menuju bioskop karena pertunjukan hampir dimulai. Masuk ke dalam bioskop, anak-anak asal duduk di posisi yang menurut mereka 'enak'. Hingga saya menunjukkan bahwa di tiket ada tulisan dimana kita harus duduk. 

"Ooo kirain langsung duduk aja, ya ora ngarti kalo gini mah. Orang ini baru pertama", Dulah dengan logat betawinya rada keras, disambut Sakti. Apid lebih jaim. Alhasil kami jadi tontonan orang-orang.

Mungkin bagi Apid, nonton di bioskop dan makan di gerai pizza bukan hal baru. Tapi ini adalah pengalaman baru untuk Dulah dan Sakti.

Kelar nonton, Dulah masih tak percaya kalau dia akhirnya nonton bioskop. Dan dia semacam bangga, akhirnya dia jadi yang pertama di keluarganya bisa nonton di bioskop dan makan-makan.

Ini kisah Sabtuku, bagaimana dengan kamu?

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial