MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Mama Cahyo Lulus Iqra


Catatan harian bertanggal 2 November 2017:

"Jadi saya lulus Iqra bu?" Mata teduh milik wanita yang biasa saya panggil Mama Cahyo itu menatap saya dengan pandangan menyelidik.

Saya mengangguk pasti sambil tersenyum.

"Besok sudah bisa baca Al Quran?" Tanyanya lagi tak percaya.

"Iya bu!" Saya meyakinkannya.

"Alhamdulillah!" Serunya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca karena haru. Sambil memeluk Alika gadis kecil yang belum genap 2 tahun itu. Gadis kecil bermata jeli itu menatap bingung mamanya.

Tak terasa delapan bulan sudah saya mengajar mengaji Mama Cahyo. Saya masih ingat persis bagaimana dahulu Mama Cahyo datang untuk pertama kalinya ke rumah saya untuk belajar mengaji. Saat akhirnya dia mendapat giliran mengaji, dia tersenyum malu sambil berkata, "bu saya belum bisa ngaji..."

"Makanya ayok saya bantu ya bun..." Sahut saya kali itu.

"Saya bahkan lupa kapan terakhir kali mengeja hijaiyah. Sudah lama sekali. Dahulu waktu kecil di kampung...." curhatnya, saya pun mendengarkan dengan seksama.

Mama Cahyo pun memulai belajar mengenal huruf hijaiyah dari halaman pertama buku Iqra. Bukanlah hal yang mudah bagi Mama Cahyo untuk memulai belajar mengaji di usia yang tidak lagi muda.

Saya ingat persis bagaimana, dia harus mengulang taawudz dan basmallah lebih dari 5 kali saat memulai mengaji itupun kesalahan terus berulang hingga bulan-bulan pertama mengaji. Logat asal daerahnya memperburuk makhorijul huruf saat mengucap huruf hijaiyah. Yang terparah huruf فَ dibaca 'pa' bukan 'fa'.

Meski saya sering menyalahkannya. Namun dia tak gentar. Tidak lekas 'mutung' apalagi ngambek. Saban pagi, dia datang ke rumah saya untuk belajar mengaji, setelah sebelumnya bolak-balik mengantar si anak sulung bersekolah di SD yang berjarak hampir 2 kilo dari rumah sambil menggendong Alika.

Sampai rumah saya kadang dia tak bisa mengaji karena Alika sedang rewel. Maka dia pulang dengan 'tangan hampa' pasalnya Alika terlalu rewel untuk sekedar diam sejenak mendengarkan saya menyampaikan materi.

Sewaktu bulan Ramadhan, Mama Cahyo datang pagi buta selepas Subuh untuk belajar mengaji. Dia mengendong Alika yang masih tertidur sambil berjalan kaki menembus gelap.

Mama Cahyo memahami kekurangannya dalam menghafal. Makanya dia gigih mengulang hafalan quran. Tekadnya cuma satu, dia ingin punya hafalan surat yang banyak agar malaikat tak bosan mendengarkan bacaan surat 'qul-qul' yang itu-itu saja saat shalat wajib. Dan kini hafalannya Alhamdulillah sudah hampir setengah juz 30 lengkap dengan arti dan makhroj yang baik. Dan kini dia juga mulai menghafal hadits-hadits pendek yang shahih.

Dia pun selalu berusaha konsentrasi penuh mendengarkan penjelasan saya sambil mencatat. Walau dia kerepotan harus mencatat sambil memangku Alika.

Sebenarnya, Cahyo juga murid saya. Cahyo sudah lebih dahulu berada di level quran sejak lebih dari setahun lalu. Namun, sang mama baru memberanikan diri untuk belajar hampir 8 bulan lalu.

Selama hampir 8 bulan ini, saya belajar banyak dari sosok Mama Cahyo. Tak sekedar dari kegigihannya belajar mengaji, juga soal hidup.

Mama Cahyo hampir tak pernah absen kalau tidak sedang libur. Bahkan pernah suatu kali, saya yang malas mengajar karena sedang sedih dirundung masalah tiba-tiba langsung bergegas saat mendengar suara Mama Cahyo mengucap salam di bawah. Saya harus sembunyikan mata yang sembab selepas menangis semalaman. Karena saya tidak ingin mematahkan semangat Mama Cahyo yang ingin segera bisa membaca surat cinta dari Allah.

Ketika terkadang saya ingin lari saja meninggalkan Sukabakti. Saya ingat masih ada Mama Cahyo, bunda-bunda lain dan anak-anak yang saat ini masih menggantungkan harap pada saya.

Saya tidak tahu apa takdir yang sudah tertulis di lauhul mahfuz untuk saya. Namun, kalau boleh saya tak perlu memadamkan api semangat mereka yang sedang belajar mencintai kitabnya.

Saya memang bukan orang yang sempurna. Saya hanya remah-remah rengginang yang tersisa di kaleng bekas Khong Guan. Hanya saja saya kebetulan difasilitasi Allah dengan takdir ini hingga saya susah untuk 'kabur' dari semangat belajar Quran dan Hadits. Tolong rangkul saya agar tak patah semangat meski badai datang silih berganti!

"Insya Allah, Jumat besok biar saya yang memasakkan nasi kuning dan lauk untuk makan malam anak-anak bu...", Mama Cahyo dengan mata berbinar-binar. Masya Allah, Tabarakallahu.

*ditulis dengan berlinang air mata*

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial