Catatan harian bertanggal 9 Juli 2018:
Akhirnya tepat jam 9 pagi, hari Kamis tanggal 5 Juli 2018 kami berangkat. Sempat menunggu santri yang kesiangan bangun. Tapi kami berangkat cukup tepat waktu. Tidak terlalu telat.
Truk tidak bisa masuk ke area pesantren. Kami harus turun dan berjalan jauh membawa barang-barang kami yang tidak enteng. Plus sebagian sembako dan bahan mentah untuk makan kami di sana.
Sesampainya di sana, para santri mulai berkeliling. Sebagian tersenyum kecut, karena dua malam ini, kita akan tidur di lantai beralaskan karpet. Ada juga yang kebagian di rumah panggung, tanpa karpet. Tetapi syukurlah, kamar mandi dan toilet cukup memadai.
Semua berjalan sesuai rencana, sampai di sana tepat azan dzuhur. Nasi liwet dan teman-temannya juga sudah diantarkan oleh sepupu saya Cahyani Yuli Safitri Alhamdulillah.
Saya pikir setelah shalat berjamaah, kami akan langsung makan siang. Ternyata tidak! Padahal perut saya sudah berbunyi karena lapar sedari tadi.
Saya mengintip ke dapur. Oh ternyata, nasi sedang ditakar di nampan atau baki. Tradisi pesantren, mereka biasa makan bersama dengan tangan, 1 baki dimakan 4 orang. Nasinya cukup banyak, kalau santri kita bisa untuk makan 6-7 orang.
Nampan sudah diantar, kami hampir saja berebut untuk makan. Ternyata tidak, Abi panggilan kami untuk Kyai Pesantren itu memanggil seluruh santri dan kami untuk berkumpul di mushola. Katanya itu sambutan untuk kami.
Ya Allah…lapar! Perut sudah melilit. Khawatir mag saya kambuh, saya buru-buru meminum obat mag.
Akhirnya pembukaan kelar juga, kami bisa makan jam dua siang. Ala makjang!
Selesai makan, saya, Lisda, dan Hendri segera melipir pergi ke luar pesantren, dengan menumpang mobil temannya Mas Deka. Kami hendak melihat Kampung Budaya untuk tujuan piknik setelah ‘mondok’ selama 2 hari 2 malam.
Sesampainya di Kampung Budaya, kami sempat berkeliling sebelum berdiskusi paket apa yang akan kami ambil. Semula kami sudah berencana hanya ambil paket 25ribu/anak. Namun saya tertarik dengan program jalan-jalan ke situs bersejarah selain kegiatan di lokasi, plus makan siang. Akhirnya kami sepakat untuk membayar paket 3 jutaan komplit.
Karena saya pikir ini menarik, dan santri pilihan yang sudah lulus semangat ikut program Ramadhan dan ikut ujian, kemudian ‘mondok’ yang notabene kegiatannya hanya ngaji dan ngaji dari subuh sampai larut malam perlu diberi kejutan. Tentu saja itu di luar estimasi kita yang hanya sejutaan.
“Duitnya?” Lisda mendelik.
“Tar saya ambil duit dulu di ATM…” Jawab saya.
“Bukannya duit yang sumbangan udah kita ambil semua?” Tanya dia.
“Ini ada ongkos dari bosnya Hendri.”
“Masih kurang…”
Saya cuma tersenyum. Pikir saya, Sabtu siang kami masih perlu makan siang tapi gak mungkin masak, jadi ya sudah sekalian aja dipaketkan.
Akhirnya kami membayar lunas paket. Mas Deka mengantar kami ke mesin ATM terdekat dan berbelanja sebelum mereka pergi ke kota.
Setelah berbelanja kami pulang ke pondok, membawa belanjaan sambil berjalan kaki hampir 2,5 kilometer. Lelah…. Untung kami sampai sebelum adzan maghrib.
Comments
Post a Comment