Catatan harian ini bertanggal 29 Oktober 2016:
Hari masih pagi, namun matahari bersinar sedemikian terang dan menyengat. Saya dan Sydney sudah bergegas hendak pergi.
Hari ini adalah "big day" buat Sydney. Karena kami mau berpetualang naik angkot. Bagi Sydney, naik moda transportasi umum seperti angkot, bus dan kereta adalah hal yang paling seru dan menggembirakan. Mungkin karena jarangnya kita bepergian.
Saya bisa lihat betapa girangnya dia naik angkot. Senyumnya tak henti merekah. Dia sengaja membiarkan angin yang masuk dari jendela angkot yang dibuka lebar memainkan anak-anak rambutnya.
Pelan-pelan Sydney mulai merapal hafalan Al qurannya. Lama-lama kian kencang hingga terdengar ke seluruh penjuru angkot yang agak lengang. Saya berusaha memberitahu Sydney berkali-kali untuk mengecilkan suaranya karena kita sedang di angkot.
Namun tiba-tiba seorang kakek tua berpakaian necis penumpang angkot menyenggol saya dengan sopan.
"Biarkan dia meneruskan hafalannya..." Katanya. Saya tersenyum malu.
"Berapa usianya?" Tanyanya.
"Baru mau 4 bulan depan."
"Sudah sekolah"
"Belum pak"
"Siapa yang mengajarkannya mengaji?"
"Saya pak", saya malu-malu. Lelaki tua itu mengangguk-angguk.
"Anak sekecil itu melafalkan Ayat Quran juz 27 dengan fasih bukan menyanyikan lagu-lagu dewasa adalah luar biasa. Teruskan!"
"Suatu hari nanti, kita para orang tua akan mati. Ketika mati semua amal akan terputus kecuali 3 perkara: sodaqoh jariyah, ilmu bermanfaat dan doa anak soleh/solehah".
Saya mengangguk mendengarkannya. Tiba-tiba mata sang kakek berkaca-kaca.
"Jangan seperti saya, di usia senja saya malah mengkhawatirkan anak-anak saya. Waktu mereka masih kecil saya dan istri terlalu sibuk mengejar karir demi uang. Agar anak-anak kami bisa sekolah di tempat terbaik yang mahal-mahal. Yah, anak-anak kami Alhamdulillah jebolan sekolah-sekolah keren. Mereka semua pandai. Tapi sayang mereka jauh dari agama. Saya takut, jangan-jangan saat saya mati, mereka tidak tahu cara mendoakan saya. "
"Saya pun tak berani berharap banyak mereka akan menyambung amalan saya dan istri yang terputus setelah mati. Karena saya tidak menyumbang apa-apa saat mereka kecil. Saya pikir mengirimkannya ke sekolah terbaik, memanjakannya dengan harta sudah cukup. Tapi ternyata...", lanjut sang kakek penuh emosi.
Angkot yang kami tumpangi hampir tiba di tempat tujuan saya dan Sydney.
"Kiri pak!" Seru saya pada sang sopir agar segera menghentikan laju angkotnya. Sebelum turun angkot saya pun berbasa-basi pamit.
Sang kakek tersenyum dan berkata, "semoga istiqamah ya!". Saya membalas senyumnya penuh takzim.
Alhamdulillah hingga detik ini Sydney masih semangat menghafal Quran. Sydney malah memilih jalan hidupnya sendiri untuk menuntut ilmu di ma'had penghafal Quran. Karena salah satu impian terbesar Sydney adalah menjadi imam masjidil Haram. Masya Allah Tabarakallahu.
Comments
Post a Comment