MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Jangan Pergi Bu!


Catatan harian bertanggal 30 Januari 2018:

Setelah tak jadi berangkat tahun lalu, para santri seperti waswas kalau saya akan pergi kapan saja. Makanya 'mati-matian' anak-anak membuat saya bahagia dengan caranya masing-masing yang terkadang 'lebay'. Saya sampai berpikir mereka semacam membuat perjanjian di belakang saya untuk 'memanjakan' saya dengan kasih sayang agar saya tidak terpikir meninggalkan Rumah Quran Ar Rahman dan kampung Sukabakti.
Hingga 3 pekan lalu, di Kamis sore saya bilang, "malam ini kita ada guru baru ya.... Insya Allah dia akan menggantikan saya."
Perkataan saya yang sejatinya lupa diteruskan dengan embel-embel "menggantikan saya dua malam ini", kontan membuat heboh.
Semua santri sibuk membuat asumsi. Apalagi setelah sempat mengintip status whatsapp ðŸ˜­ðŸ˜­ðŸ˜­ yang bertahan cuma setengah jam. Memang sedang sedih sih, tapi masalah pekerjaan. Saya pun buru-buru menghapus sebelum geger.
Guru baru itu sejatinya salah seorang sahabat saya yang sudah 12 tahun tak jumpa. Dan ketemu lagi, kita berdua sudah sama-sama insaf ☺️ Dia hafizah yang menetap di Solo. Pertemuannya juga sedikit dramatis karena ternyata keponakan dia santri saya setahun belakangan ini.
Nah, berhubung dia sedang di Jakarta. Saya minta tolong dia untuk mengajar, sebagai penyegaran.
Sore itu, ibu Eko salah satu sahabat sekaligus santri seperti berupaya keras menahan tangis saat gilirannya mengaji, nafasnya tercekat. Lah saya bingung.
Malamnya lebih dramatis. Sewaktu sahabat saya datang. Beberapa santri perempuan tetiba sesenggukan. Ada yang memilih pulang, ada santri laki-laki yang memilih tak datang.
Suasana kelas mencekam, santri diam tapi marah dan sedih. Sahabat saya pun bisa menerima penolakan luar biasa.
Logika saya bekerja, buru-buru mengirim pesan singkat kepada ustadz mitra saya di rumah quran yang kebetulan suami bu Eko. Saya bilang, "kayaknya anak-anak pikir, saya mau pergi dan sahabat saya adalah guru pengganti."
Pak sobari hanya membalas, "biarin aja dulu!"
Saya tertawa cekikikan meninggalkan kelas menuju rumah Lisda salah seorang sahabat yang juga salah seorang santri ibu-ibu. Saya cerita duduk perkaranya dan malah mengajak dia sekongkol membiarkan anak-anak baper hingga hari Jumat malam, saat kami makan bersama. Toh anak-anak sama sekali tidak mengklarifikasi kepada saya.
Kelas berakhir, para santri melangkah gontai.
"Pokoknya aku gak mau bu risma pergi"
"iya!"
"kita buat dia selamanya di sini!"

Mendadak seluruh status whatsapp berisi curhatan tentang saya yang hendak pergi. Saya cekikikan sendiri dan tak berminat menjelaskan di whatsapp. Tunggulah esok.
Jumat pagi, ibu-ibu dan anak-anak sudah sigap datang ke runah untuk memasak ratusan porsi makan siang gratis untuk jamaah solat Jumat. Dan kali itu mata mereka seperti menyiratkan duka. Obrolan kami tak lepas. Lisda yang juga memperhatikan hanya tersenyum sambil sesekali mengkode saya.
Panji, salah satu santri lelaki saya yang ABG termasuk yang paling marah dan bersedih. Padahal dia santri baru.
Dia yang biasanya paling rajin datang ke kelas dan paling semangat kala bertemu saya tetiba menghilang dari kehidupan saya. Bahkan saya kesulitan untuk mengundangnya untuk makan malam bersama. Lucunya saat kita berpapasan di jalan menuju masjid dia melengos dan buang muka. Padahal dia yang paling sumringah kalau bertemu saya.
Hingga saya harus menulis pesan di secarik kertas dan menaruhnya di motornya saat ia solat Jumat.
"Panji, nanti malam datang ya! Kita makan bareng...❤️Risma"
Akhirnya Jumat malam, seluruh santri datang. Mereka semua berjejalan memenuhi kelas demi menunggu kata-kata 'terakhir' dari saya.
Tiba giliran saya bicara setelah sahabat saya sang guru pengganti dan Pak Sobari kelar mengajar. Pertanyaan saya, "ada apa kalian? Kok sifatnya aneh?"
Mereka diam seribu bahasa, hingga ada yang memberanikan diri untuk bertanya, "ibu jadi mau pergi?"
Mata saya terbelalak, "pergi ke pasar?"
"Pergi meninggalkan kami."
"Kata siapa?" kata saya sambil menatap para santri satu persatu, mereka menggeleng.
"Lalu mengapa ada guru pengganti?"
Saya tertawa, "loh ini sahabat saya dari Solo. Ia hanya singgah dan menggantikan saya dan pak sobari dua hari ini saja."
"ooooo", anak-anak berpandangan.
"Makanya tanya yang jelas jangan menduga-duga!" Kata saya.
Muka-muka tegang, sedih seketika berubah menjadi cerah.
"Jangan ngaji hanya karena saya! Ada dan tiada saya kalian harus tetap ngaji!" Kata saya.
"Tapi kami gak mau ibu pergi!" matanya berkaca-kaca.
"Cintai saya karena Allah. Biar Allah yang atur. Toh, Allah juga yang mengatur pertemuan kita." Kata saya.
Salah seorang santri yang sedikit lebay malah pernah bilang, "kampung ini akan sepi tanpa ibu!"
Saya ngakak, "lah sebelum saya datang juga biasa aja ah."
"Tapi ibu beda..." dia ngotot.
"Apanya yang beda?"
"kamu datang, memikat kami hingga kami jatuh cinta dan tak ingin kehilanganmu..."
Lohhhh tunggu dulu, ngomongnya sudah pakai aku kamu.😥

Saya tersenyum haru.
"Semua ada waktunya....Allah tahu yang terbaik..."
"Tapi saya ingin kamu tetap di sini selamanya."
"Kalau begitu kalau suatu hari nanti pergi, saya akan diam-diam saja biar tak perlu ada adegan Cinta mengejar Rangga di bandara." Saya menjawab sekenanya.
Dia jawab, "Saya akan merasa lebih sedih kalau ibu sejahat itu." Untunglah balik lagi pakai kata ibu.
Hahahah saya ngakak.
"Tunggu bro! Ini kita gak lagi pacaran kan? kok sebaper itu."
Pemuda tanggung itu menunduk dengan malu-malu. Dia memilih pergi.
Sebenarnya saya mau bilang, "Jangan pergi! Berat, kamu gak akan kuat. Biar aku saja!" ala cuplikan film Dilan. Tapi saya mengurungkan niat takut ada drama lanjutan😎
Sebenarnya tidak hanya pemuda tanggung itu yang bersikap lebay. Santri perempuan dan ibu-ibu juga sama. Gampang baper kalau dengar saya mau pergi. Haduhhh....!
Ada yang mau jajal pura-pura jadi guru pengganti saya? Siap-siap dimusuhin puluhan santri. Hahahah
Terima kasih sudah sedemikian cintanya pada saya. Kalau boleh jujur ini adalah episode terbaik dalam hidup saya. Kalau boleh, saya inginkan episode hidup ini di sisa usia saya. Tapi sekali lagi, jangan mendahului Allah. Allah lah sebaik-baik pembuat rencana.
Masya Allah Tabarakallahu♥️

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial