MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Jangan Marah!


Catatan harian ini bertanggal 19 Juli 2016:

Suatu hari Adam, bocah Amrik yang jadi murid mengaji saya marah besar dengan murid saya Najwa. Adam yang sebenarnya cukup sabar dan dewasa meninggalkan rumah saya dengan berang sambil memaki Najwa dengan kata kasar. Mata Najwa memerah, tanggul air matanya pun jebol dan ia menangis sesenggukan. Saya ternganga dibuatnya. Saya tidak tahu duduk persoalannya. Saya memeluk Najwa. Namun saya marah dengan Adam.

Keesokan harinya sebelum kelas mengaji dimulai. Adam menemui saya untuk meminta maaf. Adam menceritakan duduk persoalannya begitupun Najwa. Keduanya sama-sama bersalah dan mereka sepakat untuk berdamai.

Setelah sesi mengaji, lagi-lagi si kritis Adam melontarkan pertanyaan kepada saya, "bolehkah seorang muslim marah?"

"Jangan marah! begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayat kan Imam Bukhari", kata saya sebagai permulaan.

"Jadi saya tidak boleh marah dan jengkel?" Adam kebingungan.

"Marah itu manusiawi! Setiap manusia pasti pernah marah", sambung saya.

"And then what did Rasulullah SAW mean?"

Kebetulan saat itu saya baru baca bab tentang marah. Makanya saya lancar menjelaskan.

"Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadis itu. Menurut AlKhaththabi maksud perkataan Rasulullah SAW 'jangan marah' adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang mengarah kepadanya.Karena marah itu manusiawi maka sebisa mungkin menghindarkan diri dari penyebab amarah."

"Then what should i do when i'm angry?"

"Please make sure you are not angry without reason! Punya alasan saja tidak cukup kalau alasannya tidak syar'i misalkan dikit-dikit marah karena baper atau cemburu".

"Then?"

"Ucapkan Audzubillahiminassyaiton nirrajiim, aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Biar marahmu tidak kelewat batas!"

"Then what should i do if i still angry?"

"Nabi SAW pernah bersabda, Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring." 

Adam tampak bingung, "Then whats next?"

"Masih marah juga ya segera wudhu atau pergi mandi untuk meredakan emosi".

"Lalu apa yang harus saya lakukan bila saya ditonjok orang? Apa saya mesti tahan diri dan pergi wudhu, seperti seorang pengecut yang lari dari medan perang"?

Saya tersenyum, tak menyangka Adam menanyakan hal itu. Saya menjawab dengan improvisasi.

"Ya tergantung Adam, kalau kamu dipukul penjahat ya lebih baik dilawan. Kalau dia orang yang kamu kenal mending mengalah, daripada makin runyam. Siapa tahu dia juga korban karena ketidak-tahuannya akan kamu".

"Ribet sekali jadi muslim", Adam ngedumel.

Saya tersenyum, "Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki."

Biar bagaimanapun saya juga manusia. Saya juga sering marah. Namun saya menghindari konfrontasi langsung. Saya biasanya pilih menyingkir terlebih dahulu sampai sedikit mereda kemudian memberondongnya lewat tulisan untuk memberi tahu kalau saya marah. Seringkali malah jadi inspirasi tulisan saya. 

Saya pernah membuat berhalaman-halaman tulisan berisi kemarahan saya kepada seseorang. Tentu saja tulisan saya berupa kemarahan terselubung, tidak bertabur sarkasme penuh emosi.

Kalau marahnya sudah sampai ke ubun-ubun biasanya saya malah menangis. Kemudian merencanakan skenario balas dendam. Namun kemudian, rencana menguap begitu saja. Tak jadi dilaksanakan dan melupakannya. Bahkan ada beberapa orang yang terpaksa saya lupakan, hindari, delete dari pertemanan. Bukan karena benci hanya saja agar tidak membangkitkan memori buruk akan dia.

Marah itu manusiawi! Justru kalau tidak pernah marah, lama-lama jiwanya terganggu karena terlalu sering menahan.

Tapi ya kalau bisa Jangan Marah!  Hindari potensi marah!

Rupanya kata-kata saya tentang marah terngiang-ngiang terus di telinga Adam. Antara terima dan tidak. Adam ikut menyampaikannya ke orang-orang di dekatnya.

"Jadi bu, saya tetap harus wudhu kalau tiba-tiba dipukul tanpa sebab?" Tanya Adam lagi.

Aduhhh Adam ya tergantung konteksnya lah!

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial