Catatan harian ini bertanggal 23 Juli 2016:
Beberapa hari ini memang saya lebih suka berdiam diri di dalam rumah. Rasanya serentetan drama yang baru saja usai membuat saya kehilangan semangat. Setidaknya saya butuh waktu untuk 'merapihkan' hati saya sebelum kembali ke kehidupan normal.
Tiba-tiba pintu ruang tamu saya diketuk dengan sangat keras oleh seseorang. Awalnya saya abaikan, namun lama-lama ketukan itu semakin keras. Semua orang sedang terlelap. Otomatis saya tidak bisa berteriak meminta orang lain untuk sekedar membuka pintu.
Dengan malas saya bangkit, membuka jendela dan melongok keluar, "siapa?"
"Me, Adam!" Sebuah suara yang teramat kukenal terdengar lirih.
Adam? Ada apa gerangan siang bolong begini mengetuk pintu rumah. Saya menyambar jubah dan mukena untuk menutup aurat dan buru-buru turun ke bawah membuka pintu.
Di hadapan saya berdiri lelaki 13 tahun berkaos, celana panjang jeans dan topi baseball sedang menunduk.
"Adam..."
Adam mengangkat wajahnya yang sendu. Berusaha mengulas senyum demi menutupi kegundahan hatinya.
"Are you leaving today?" Tanya saya sedih.
"Yes mam!" Suara Adam terdengar getir. Nafas saya tiba-tiba tercekat, tak sanggup bicara. Saya mengatur nafas agar saya bisa bicara.
"Kapan?"
"3 hours a half from now mam"
Saya makin sedih, dalam hitungan jam, lelaki kecil yang setahun belakangan ini menjadi bagian dari hidup saya akan segera pergi. Entah mengapa setiap menatap Adam, saya membayangkan dia Sydney. Jadi perasaan saya makin campur aduk.
Dia meraih tangan saya dan menciumnya layaknya murid kepada gurunya, layaknya anak pada ibunya. Saya sedikit canggung, karena Adam yang di hadapan saya kini bukan bocah kencur yang beberapa bulan lalu masih menanyakan perihal kapan si bulu ketek muncul. Kini dia dia sudah sepenuhnya lelaki yang memasuki gerbang dewasa.
Saya menepuk bahunya. Adam seperti ingin memeluk saya. Namun dia menahan diri. Dia mafhum kalau dirinya kini bukan bocah kecil. Saya yakin dia ingat kalau kita sudah pernah berbicara panjang lebar tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Meski saya belum sepenuhnya hijrah karena tuntutan profesi. Saya sampaikan sepanjang pengetahuan saya dan Insya Allah menjadi cambuk untuk saya belajar.
"Thank you for everything mam! Maafkan segala kesalahan..."
Saya hanya mengangguk menahan tangis. Hingga mata kami bersirobok. Mata polosnya terlihat merah.
"Jaga diri baik-baik yaaa.... Ngajinya diteruskan. Tak usah malu disebut 'kampungan' hanya karena mempertahankan prinsip sebagai seorang muslim. Kamu sudah besar! Be a good boy!"
Adam mengangguk pelan. Saya tersenyum.
"Jangan lupa telepon sesampainya di sana!"
"Good bye mam!"
"Insya Allah kita bertemu lagi ya sayang..."
"Dagh! Assalamualaikum!" Tanpa menunggu jawaban, Adampun berlalu.
Saya menjawab lirih dan membiarkan bulir air mata perlahan tapi pasti menetes.
Comments
Post a Comment