MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Flashback: Awal Mula Rumah Quran Ar Rahman


Catatan harian bertanggal 6 Maret 2017:

Akhirnya saya datang juga ke rumah besar itu bertemu dengan nyonya rumah. Kami berbincang tentang banyak hal. Dan saya pikir kami cocok. Dia bilang, dia akan memfasilitasi semuanya termasuk dua guru tambahan yang hafiz quran.

"Jadi kapan akan dimulai?", nyonya itu bertanya.

"Insya Allah minggu depan bu, kami sudah libur dua minggu", jawab saya.

"Ok, nanti saya akan minta orang saya untuk menyiapkan, boleh minta list fasilitas?"

"Kami terbiasa menggunakan fasilitas apa adanya bu, tapi kalau ibu mau bantu ini ada listnya", saya serahkan lembaran kertas berisi daftar fasilitas yang biasa saya sediakan di rumah untuk anak-anak, mulai dari papan tulis, alat tulis, dll. Nyonya rumah itu mengangguk. 

"Tapi akhir pekan ini saya akan undang wali santri untuk rapat, saya ingin bertemu dengan mereka"

"Apa kita langsung rapat di sini bu?" Tanya seorang ibu bergamis warga kampung yang selalu ikhlas menolong saya apa saja.

"Ok boleh, tapi hari minggu sore ya, karena saya mau ke vila saya di Bogor dari Jumat malam".

"Ok".

Sepulang dari bertemu di hari Rabu sore. Saya bergegas membuat surat undangan untuk hampir 50 santri tentang rapat itu, karena saya berencana menghabiskan akhir pekan bersama keluarga di luar. 

Jumat sore saya masih sempat memesan aneka snack untuk rapat Minggu sore. Dan Minggu pagi, saya menghubungi nyonya besar soal rapat sore. Dia bilang, "cancel saja dulu ya saya ada acara".

Saya mulai mangkel mengingat undangan sudah disebar. Saya bilang, "tak perlu dibatalkan. Saya bisa alihkan di rumah saya. Terimakasih atas waktunya".

Si nyonya besar mungkin merasa bersalah, dia menelpon balik, "mohon maaf kalau pengajian juga belum bisa dimulai hari Senin, dia baru akan mengagendakan meeting dengan saya dan calon guru lainnya hari Kamis".

Saya makin kesal, kelas harus dimulai Senin depan. Apapun yang terjadi.

Waktu saya bilang kalau rapat pindah di rumah saya kepada Ibu Eko sahabat saya di kampung itu. Dia langsung mengontak orang untuk memasang tenda dan kursi-kursi di halaman rumah saya yang kecil agar bisa menampung para orang tua yang hendak rapat. 

Saya kira masalah selesai, kelas akan dimulai di rumah saya. Sambil menunggu madrasah wakaf itu kelar, yang saya sendiri tak tahu sampai kapan. Karena madrasah wakaf itu tak kalah pelik dari sekedar renovasi, ada para ahli waris yang berseteru. Saya pun tak lagi berharap banyak dari orang kaya yang berniat meminjamkan pavilion-nya.

Hingga malam hari, pak RT datang ke rumah saya. Dia bilang baru saja ke rumah orang kaya itu. Orang kaya itu bilang, agak keberatan kalau ngajinya setiap hari.

Saya memaklumi, pasti orang itu khawatir anak-anak kampung akan berlarian di halamannya yang luas hingga merusak pemandangan di istananya. Jangankan anak-anak, saya aja masih suka heran. 

Sebenarnya saya sudah tidak mau dengar alasan lain. Bagi saya urusan saya dengan dia sudah selesai. Hingga pak RT bilang, kalau orang kaya ini meminta dia mewaspadai saya.

Katanya, saya terlalu baik. Zaman sekarang, ada yang mau mengorbankan waktunya untuk mengajar anak-anak gratis. Plus anak-anak bebas makan gratis di rumah. Baginya itu aneh, mustahil kalau saya tak punya maksud terselubung.

Orang kaya itu menanyakan dimana saya tinggal. Pak RT jawab sebenarnya. Orang kaya itu makin mencurigai saya, karena dipikirnya saya tidak ada seujung kuku dia yang kaya raya. Dia bilang, coba pastikan dia tidak hendak menularkan paham tertentu ke anak-anak kampung ini.

Mungkin dia melihat penampilan saya dengan gamis dan jilbab panjang. Mungkin juga dia mempermasalahkan mengapa saya bergaul akrab dengan perempuan bergamis dan berjilbab panjang yang suaminya berjenggot dan bercelana cingkrang.

Padahal saya lebih sering nongkrong dengan ibu-ibu yang tidak jilbaban di sini. Lalu salahnya dimana, jilbaban tapi lekuk tubuhnya tidak terlihat. 

"Aduh pak RT... Kok jadi ribet gini. Bapak tahu kan kalau saya tidak pernah memposisikan diri saya sebagai ustadzah. Kenapa saya bisa ngajar ngaji sepertinya saya sudah ceritakan berkali-kalo kalau setahun lalu tetangga saya yang bule Amrik kebingungan cari guru ngaji yang bisa bahasa Inggris. Saya akhirnya ajarkan Adam dan Michael, plus sepupunya, anak satpam dan keponakan pak RT gratis. Dan kalau akhirnya sekarang ada hampir 50 anak yang ikut ngaji dan mereka jadi sangat akrab dengan saya apa salahnya? Apa salahnya kalau sekarang bocah-bocah perempuan terbiasa main dengan jilbabnya? Apa salahnya kalau bocah-bocah jadi hafal surah Ar Rahman beserta arti? Apa salahnya kalau mereka makan/minum pakai tangan kanan?"

Saya mulai emosi. "Lalu memangnya kalau orang seperti saya gak boleh sedekah waktu, harta, dan lain-lainnya? Harus nunggu punya istana, puluhan mobil, dan dayang-dayang?"

"Pak RT, tolong bilang sama dia. Keluarga saya punya paspor Amerika. Ngapain juga saya beraliran teroris? Saya pun gak nganggur pak. Mesti banget ya saya bilang, berapa aset yang saya punya hingga saya cukup capable untuk sedekah lahir batin?"

"Kalau orang itu bilang orang jenggotan bercelana cungkring itu kampungan dan teroris. Bapak kan kenal suami saya pak, dia jenggotan dan celananya cungkring. Tapi dia orang bule. Dia masih aktif jadi konsultan di perusahaan Amrik dan Eropa, yang keluar masuk bandara-bandara internasional dengan penjagaan super ketat".

"Saya sengaja cari tempat baru dan mau cari pengajar baru karena saya ingin memastikan semuanya baik-baik saja sebelum saya pergi".

Suasana jadi hening, saya menahan tangis setidaknya sampai pak RT pulang. Saya hampir memutuskan untuk tidak lagi mengajar ngaji. Hingga suami saya bilang, "kamu ngajar anak-anak demi dilihat orang atau Allah. Kalau Allah ya terus aja. Ngapain pusing dengan omongan orang. Lupakan saja. Mungkin orang itu terbiasa 'membeli' pertemanan sehingga dipikirnya tidak ada yang tulus di dunia ini."

Jadi hari ini, Insya Allah kelas akan kembali dimulai di rumah saya. The show must go on! 



Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial