MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

Aku, Dia dan Kamu


Catatan harian ini bertanggal 21 September 2016, dan di kemudian hari juga diterbitkan oleh salah satu media ternama dari MNC Group:

Aku lahir di hari Jumat tiga puluhan tahun lalu. Dan sejak saat itu, entah mengapa hari Jumat selalu terasa istimewa. Selalu ada saja kisah unik yang terjadi di hari Jumat. Begitupun pada hari Jumat ini.

Sudah hampir dua minggu ini aku memang sudah mengumbar janji akan segera mengunjungi salah seorang sahabat di Depok yang baru saja lahiran. 

Sebenarnya tidak baru juga. Karena di hari ke-40 aku akhirnya membulatkan tekad untuk menyambanginya di Depok hanya berdua saja dengan si kecil menumpang Uber, transportasi kekinian yang sedang nge-tren di ibu kota.

Belakangan ini memang Uber sudah menjadi semacam teman setia aku dalam bepergian. Tak perlu menyiapkan uang cash untuk mendapatkan layanan transportasi ala kendaraan pribadi. Hanya butuh gadget, sambungan internet dan mobil atau helikopter akan menjemput di titik koordinat lokasi aku berada. Praktis!

Biasanya aku tidak pernah melewatkan perbincangan dengan para pengemudi yang mengantarku. Aku suka mendengarkan setiap kisah yang diceritakan para driver, dari kisah tentang customer yang aneh hingga keluarga tercinta.

Tetapi tidak kali ini, dalam perjalanan pulang dari Depok hingga Bintaro aku terdiam seribu bahasa. Apalagi saat pangeran kecil sudah tertidur dengan pulasnya karena kelelahan setelah seharian bermain dan bermain.

Mataku asyik menatap ke luar jendela kaca mobil. Menatap satu persatu bulir hujan yang mulai jatuh membasahi bumi. Dan seperti biasa, laju kendaraan di jalanan ibu kota mulai melambat. Jalanan yang semula tampak lengang memadat. Macet dan hujan!

Aku pun mendengus kesal. Buyar sudah impianku untuk segera merebah di ranjang empuk. Menghabiskan sisa hari dengan tidur dan menunggu sang kekasih.

"Macet", tiba-tiba suara berat sang pengemudi membuyarkan lamunanku.

"Iya... Setiap hujan selalu macet!" Timpalku sedikit kesal.

"Tapi tidak selalu macet karena hujan", sang pengemudi lagi.

"Ya sih", pendekku.

"Dulu saya juga benci hujan, hujan selalu bikin susah. Tak hanya macet tetapi juga betapa nestapanya saya dan jutaan pengendara motor lainnya yang harus menembus hujan di kelamnya malam. Dan saya yakin mereka yang tinggal di pinggiran kali yang seringkali luber saat hujan juga mengutuk hujan sebagai biang banjir..."

Tanpa kuminta si pengemudi menceritakan kebenciannya pada hujan. Sebodo amat, emang gue pikirin. Aku malas menanggapi.

"Hingga seorang perempuan penting dalam hidup saya menularkan kecintaannya pada hujan. Katanya hujan itu seperti hidup. Tangis, nestapa, dan luka adalah hujan. Sedangkan kebahagiaan adalah pelangi yang indah. Setelah luka pasti ada kebahagiaan yang menanti.

"Tunggu dulu... Kok sepertinya aku akrab dengan kata-kata itu. Dimana si pengemudi mendapatkan kata-kata itu.
 
Aku pun tergoda untuk melirik tampang si pengemudi di depan. Pandangan kami sempat bersirobok sekian detik sebelum akhirnya sang pengemudi pura-pura sibuk melihat kaca spion. 

Ah, aku tak sempat mengenali lelaki berwajah agak gelap berhidung mancung dengan brewok dan berkaca-mata itu. Mungkin dia bukan siapa-siapa.

Aku pun kembali menyibukan diri dengan menatap ke luar jendela. Bermain-main dengan pikiranku sendiri.

Hingga terdengar lagu "Layla" sang Eric Clapton mengalun memenuhi mobil.

"Layla, you've got me on my knees.

Layla, I'm begging, darling please. 

Layla, darling won't you ease my worried mind...."

"Layla... Eric Clapton", aku perlahan sembari menikmati musik yang mengilhami ku menulis Novel Sekuntum Laila. 

Dan ingatanku pun kembali pada 4-5 tahun lalu ketika aku mengenal sosok seorang wartawan perang di kantor pemberitaan tempat aku bekerja dahulu. Pria yang entah mengapa memiliki tanggal lahir persis dengan suamiku, semua-semua yang mirip suamiku. Dan dia pula yang memperkenalkanku pada lagu Eric Clapton itu.

"Bu Risma tahu kisah di balik lagu Layla"? Pertanyaan tiba-tiba sang pengemudi memecah lamunanku. Aku menggeleng, sang pengemudi mengintip dari kaca.

"Di lagu yang diliris Clapton bersama bandnya Derek and the Dominos di tahun 1970 ini, Clapton menggambarkan dirinya sebagai Qays bin al-Mulawwah alias Majnun, yang teramat tergila-gila terhadap wanita bernama Layla, dalam kisah Layla dan Majnun.Tentu saja, Layla versi Clapton adalah Pattie Boyd, sang model yang saat itu masih jadi istri George Harrison yang juga masih sahabat Clapton".

"Oooo", aku menanggapi.

"Jadi Clapton mencintai istri orang?"

"Yes! Kasihan Clapton, seperti saya..." Timpal pengemudi itu.
Tanpa diminta menjelaskan sang pengemudi melanjutkan curcolannya.

"Dahulu saya wartawan, lajang yang digilai perempuan. Namun sayang saya malah jatuh cinta dengan istri orang. Saya tahu persis dia sangat mencintai suaminya. Makanya saya pun tak sampai hati merebut dia dari pangeran hatinya." Pengemudi itu menghentikan ceritanya sambil mengintip dari kaca untuk melihat reaksiku yang tetap cool.

"Saya tak pernah tahu bagaimana perasaan perempuan yang membuatku tergila-gila. Hingga dia tiba-tiba resign dan menghilang dari peredaran. Ganti alamat, nomer telepon, pokoknya dia benar-benar hilang.

Hingga, novelnya terbit. Saya membaca tuntas novel yang lebih mirip curahan hatinya itu. Dia menyebut dirinya Laila, suaminya disebut Ali dan saya disebut Ramzi. Namun sayangnya novel itu sengaja dibuat setragis mungkin yang berujung kematian Laila. Saya yakin dia tak sanggup memilih antara Ali atau Ramzi, penggemar rahasianya."

Aku pun memicingkan mata, mencoba mengenali sang pengemudi. "Astaga kamu?!?" Kutarik jaket hitam sang pengemudi. Dia tersenyum, membuka kacamatanya dan menoleh.

"Apakabar Laila?", kemudian pandangannya kembali lurus ke depan.

Tiba-tiba aku jadi bergidik ngeri. Aku memeluk erat tubuh pangeran kecilku, bersiap untuk loncat kalau tiba-tiba pria gila itu berbuat nekat.

"Kamu mau ngapain Laila?" Dia terkikik.

"Tenang! Aku tidak akan melukaimu. Aku akan mengantarkanmu dan pangeran kecilmu dengan selamat sampai tujuan."

"Turunkan aku di sini!" Bentakku sambil siap-siap membuka mobil Avanza berwarna silver.

"Tidak! Jangan bertindak bodoh! Aku akan mengantar kalian sampai tujuan. Selain aku tidak ingin berurusan dengan hukum. Aku juga tidak ingin melukai orang-orang yang kucinta. Apalagi anakmu masih tertidur pulas."

Aku pun langsung menangis sesenggukan tak sanggup menahan emosi.

"Kumohon Laila eh Risma. Biarkan aku mengantarmu. Mungkin aku tak akan pernah melihatmu lagi. Aku sudah menantikan pertemuan ini semenjak kamu menghilang tiba-tiba. Saat kau menghilang aku benar-benar menggila. Aku tak
tahu harus mencari kamu kemana. Sahabatmu pun tutup mulut. Demi Tuhan aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja."

Aku masih menangis sesenggukan.

"Aku senang melihatmu bahagia. Sudah ada pangeran kecil. Dia tidak kau beri nama Tegar seperti dalam novelmu bukan? Hahahah aku yakin kamu tidak segila itu.
Ohya bagaimana Ali sainganku eh maksudku suamimu? Kuharap dia memperlakukanmu dengan baik atau akan kurebut kamu dari dia. Dia sudah tidak jadi agen rahasia bukan?"

Aku terdiam... Hening... Bertemu dengan orang yang tak ingin aku temui seumur hidup.

"Eh aku baca loh jakartakita. Bagus, kamu berbakat. Suatu hari aku yakin jakartakita akan menjadi besar".

"Kumohon jauhi aku! Dari dulu kamu tahu kalau aku sangat mencintai suamiku."

Pengemudi itu tertawa. "Aku tahu. Aku tidak akan merebut kebahagiaanmu. Toh aku juga baru memulai hidup baru. Kamu ingat dengan dokter gigi yang dulu mengejar-ngejar aku? Ya aku nikahi saja dia, dari pada aku jadi jomblo edan mengejar bayanganmu. Sudah setahunan dan kami beroleh bayi."

Aku sedikit bisa tenang. Kami pun terdiam, hening.

"Sepertinya rumahmu sudah dekat." Pengemudi itu memecah sunyi.

"Turunkan aku di pos satpam depan itu!"

"As your command madam. Lagipula aku tidak mau melihat pangeranmu mengecupmu mesra saat menyambutmu", pengemudi itu.

Aku pun turun dari mobil itu sambil membopong pangeran kecil. "Thank you!" Sambil membanting pintu.

"Laila eh Risma... Jangan lupa bintang 5-nya!" Si pengemudi mengingatkanku untuk memberi rating 5 bintang untuk bonus uber.

"Sampai jumpa lagi Laila!" Si pengemudi berteriak sambil berlalu.

Sesampainya di rumah, iphoneku berdering tanda pesan masuk. Sebuah notifikasi tagihan uber melalui email dan sebuah pesan singkat dari nomer tak bertuan.

"Thank you Laila! Your Ramzi..."
Buru-buru aku delete... Sebelum jadi masalah. Mungkin aku juga berencana ganti nomer telepon..

Comments

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial