Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu.
Allah punya segala macam cara dan segala macam perantara untuk menyadarkan
hamba pilihannya.
Ada orang yang begitu mudahnya menjemput hidayah. Ada orang yang butuh diberi musibah dahulu baru sadar kalau itu adalah salah satu sinyal hidayah.
Biasanya sebelum mendapat hidayah, seseorang perlu melewati perjalanan spiritual yang cukup panjang. Mengharu-biru, hingga yakin benar untuk mengambil suatu pilihan hidup. Dan bila akhirnya suatu hari dia kembali mengingkari hidayah yang pernah didapat dan malah kembali menjadi lebih 'error' dari sebelumnya. Karena dia tak cukup gigih mempertahankan keistiqomahan.
Makanya banyak cerita, tentang seseorang yang semula sangat agamis. Kemudian berubah menjadi sangat anti agama. Karena dia bergaul dengan orang-orang seperti itu.
Seperti dalam sebuah hadits, "“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)"
Makanya ketika telah sampai hidayah, pegang terus hidayah itu. Ikhtiar dengan mendekati orang-orang sholeh-sholehah dan ikut kajian. Jaga ibadah dan bacaan Quran, jangan sampai kendor!
Kalau hanya hidayah, tanpa pernah disiram dan dipupuk. Maka akibatnya, hidayah juga akan layu dan kemudian mati.
Hal yang paling sederhana terlihat, mungkin adalah ketika perempuan muslim memutuskan berhijab. Meski dalam Al Quran dijelaskan tentang kewajiban berhijab:
"Janganlah mereka menampakkan perhiasan-nya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya" (QS an-Nur [24]: 31).
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 59)
Masih banyak perempuan muslim yang masih enggan berhijab. Padahal zaman sekarang hijab itu sudah menjadi trend, tidak ada lagi larangan tampil berhijab di tempat umum seperti puluhan tahun silam.
Sebenarnya lama saya memakai jilbab sudah bukan
lagi berbilang bulan. Mungkin sudah hampir 18 tahun. Ketika saya akhirnya
memutuskan menutup kepala saya dengan sepotong kain.
Meski selama 18 tahun saya konsisten berjilbab,
tak pernah membuka tutup jilbab saya di hadapan non mahram. Namun dahulu saya 'anak
gaul'.
Saya sibuk mempercantik diri dengan aneka gaya
hijab stylish masa kini yang sebenarnya tidak bisa dikatakan hijab seperti
dalam Al quran, karena tidak menutup dada dan tidak menutup lekuk tubuh.
Saya bahkan mengambil jarak teraman dari
teman-teman atau saudara saya yang sudah terlebih dahulu berhijrah dengan
memakai hijab yang sebenarnya. Sepotong kain yang tidak hanya menutup kepala
tetapi juga pakaian yang cukup longgar untuk menutupi 'asset'.
Dan lucunya saya bangga menjadi hijab stylish dengan seringnya mendandani orang
atau membuat hijab tutorial yang keren. Saya pikir gaya berjilbab itu juga merupakan
bagian dari ekspresi diri.
Meskipun sahabat terdekat saya adalah perempuan
berhijab syar'i. Anehnya hati saya malah tergerak dengan perkataan beberapa
teman non-muslim yang miris melihat hijab hanya dijadikan 'tameng'.
Jilbaban tapi pacaran dan hamil di luar nikah.
Jilbaban tapi gayanya lebih seksi dari yang tidak jilbaban. Jilbaban tapi
gayanya lebih gaul dari anak gaul. Jilbaban tapi korupsinya fantastis.
"Kamu tahu gak sih, perempuan dengan
sepotong kain di kepala dan pakaian yang berlekuk lebih menggoda imajinasi pria
ketimbang mereka yang jelas-jelas berpakaian minim", kata salah seorang
teman non-muslim suatu kali.
"Makanya biarawati juga pakai bajunya ya
tidak mencolok. Dan semua pakai rok! Bukan celana! Kebayang gak kalau biarawati
pakai penutup kepala dan bajunya seperti hijaber gaul?" Dia ngikik.
Dan ternyata belakangan saya tahu bahwa perintah
berhijab juga diturunkan ke agama Samawi lainnya (Nashrani, Yahudi).
Kemunculan wartawati Amerika berhijab keturunan
Libya, Noor Tagouri di majalah Playboy edisi berjudul 'Renegades' sekitar dua tahun lalu juga
membuat saya banyak berpikir. Perempuan ala hijaber gaul menjadi sampul depan
dari majalah yang identik dengan pornografi.
Majalah Playboy telah menjadi garis depan dari
objektifikasi, seksualisasi dan komersialisasi perempuan selama puluhan tahun.
Hingga akhirnya Hugh Hefner merasa perlu merubah image. Kalau sebelumnya
Playboy hobi memajang perempuan telanjang sekarang hanya sekedar perempuan
seksi yang masih tertutup, walaupun seringnya kurang bahan. Dan gongnya adalah
memajang foto perempuan berjilbab gaul.
Tentu saja bukan berarti Playboy ingin jadi
majalah 'syar'i' namun lebih kepada ingin menunjukkan kepada dunia terutama
para pelanggannya bahwa perempuan muslim dengan kerudung ini tak kalah seksi
loh dengan model Playboy edisi terdahulu.
Meski Playboy membahas betapa kerennya Noor
Tagouri jadi jurnalis berjilbab di Amrik. Tapi ini lebih mirip suatu ironi.
Simbol Islam yang selama ini anti pornografi disandingkan dengan ikon
pornografi dunia.
Saya yakin Playboy tak akan memajang Noor kalau
dia berjilbab syar'i atau biarawati. Wallahualam bisshawab!
Dan akhirnya dengan semakin banyak saya
berinteraksi dengan Al Quran sekitar 2-3 tahun lalu. Saya pun meninggalkan celana-celana jins
kebanggaan dengan gaya jilbab yang aduhai menjadi lebih feminin dengan
rok/gamis dan jilbab menutup dada. Bukan jubah, apalagi cadar. Saya tidak tahu,
mungkin suatu hari nanti saya juga loncat ke fase itu.
Merubah penampilan bukan berarti saya sudah
sempurna lahir batin. Tapi justru menjadi 'cambuk' untuk bisa menjadi lebih
baik lagi. Tidak hanya memperbaiki hubungan dengan Allah, Tuhan saya. Tetapi
juga dengan sesama manusia dan makhluk Allah.
Percuma menutup rapat aurat, kalau kelakuannya
menjadi teror bagi semesta. Ada kucing ditendang, bermusuhan dengan banyak
orang, korupsi, dan lain-lainnya.
Dan tentu saja, ada jalan panjang menuju istiqomah. Apalagi kini saya harus kembali berjibaku dengan dunia profesional, berbeda jauh dengan episode saya sebelumnya di RQ Ar Rahman.
Satu pesan dari guru ngaji saya, "Waspadalah kalau tetiba kamu sulit memenuhi target tilawah/murojaah harian. Apalagi kalau sampai kualitas ibadah menurun. Jangan-jangan itu cara Allah menjauh dari kamu."
Katanya, "seheboh apapun dunia menyibukkan saya, jangan sampai lupa pada akhirat."
Sewaktu saya diberikan ujian yang membuat saya harus 'move on' dari segalanya di tahun lalu, pinta saya cuma satu, "Allah kau boleh ambil apa saja yang pernah Kau titipkan pada saya. Tetapi jangan biarkan saya sendirian!"
Karena cuma Allah tempat bergantung yang tidak akan mengecewakan hamba-Nya.
Semoga tetap istiqomah mbak untuk selalu mengingat akhirat. Semoga hidayah terus menyertai.. Hal ini juga pengingat untuk saya. Thanks.
ReplyDeleteaamiin....semangat ya ukhti! Hidup hanya sementara....
Delete