MENUNGGU

Image
  Semua orang pasti pernah menunggu. Menanti kepastian dengan harap-harap cemas sepertinya menjadi bagian dari episode hidup semua orang. Dari hal sepele, menunggu bus di halte bus, menunggu teman di tempat janjian yang sudah disepakati tetapi hingga sejam setelah waktu janjian dia belum datang juga. Atau menanti kepastian kapan surat lamaran kerja kita akan direspon oleh perusahaan yang diincar. Atau bahkan menunggu jodoh yang tak kunjung tiba. Saat menunggu, level kesabaran kita pun diuji. Dan saya yakin Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran. Ada hamba-Nya yang cuma diuji kesabarannya sekedar menunggu angkot, taksi, atau pesawat terbang. Ada yang diuji kesabarannya saat menanti tanggal gajian datang padahal beras sudah habis. Ada juga yang diuji dengan seberapa sabar dia tabah menanti kekasih yang terpisah ribuan mil dalam jangka waktu tertentu. Ada juga yang diuji dengan kesabaran menanti jodoh yang tak kunjung tiba. Padahal teman-teman sebaya satu persatu sudah

When I Was Just a Little Girl..


When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty
Will I be rich
Here's what she said to me
Que será, será
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que será, será
What will be, will be
When I grew up and fell in love
I asked my sweetheart, what lies ahead
Will we have rainbows
Day after day
Here's what my sweetheart said
Que será, será
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que será, será
What will be, will be
Now I have children of my own
They ask their mother, what will I be
Will I be handsome
Will I be rich
I tell them tenderly
Que será, será
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que será, será
What will be, will be
Que será, será
Lagu Que Sera Sera karya Jay Livingston dan Ray Evans ini jadi pembuka di tulisan ke-25 dalam rangka memenuhi tantangan blog-nya Blogger Perempuan Network. Lagu Que Sera Sera juga seperti mewakili perasaan dan hidup saya. 
Tentang bagaimana waktu gadis kecil saya pernah gelisah dan bertanya pada ibu saya, bagaimana hidup saya di masa depan. "Apakah saya akan secemerlang yang saya pikirkan?"
Begitu juga sewaktu saya dewasa dan jatuh cinta pada seseorang, saya lagi-lagi bertanya, "apakah kelak hidup saya akan bahagia seperti di dongeng-dongeng?"
Dan kini saya memiliki seorang anak lelaki, giliran dia yang bertanya, "apakah masa depan saya secemerlang bayangan? Apakah kita akan baik-baik saja menjalani hidup tanpa daddy? Apakah saya bisa menjaga dan membahagiakan mommy?"
Jawaban saya pun mirip dengan jawaban ibu saya dahulu, "Que sera sera, apa yang terjadi, terjadilah. Masa depan adalah rahasia Allah. Kita hanya perlu berikhtiar dan berdoa, biar takdir yang menentukan."
Alhamdulillah, saya beruntung punya masa kecil yang bahagia. Jauh lebih bahagia dari apa yang dialami anak saya sekarang. Padahal masa kecil saya tidak bergelimang harta seperti sekarang.
Saya punya orang tua yang lengkap yang bisa setiap hari saya lihat dan memeluk saya. Berbeda dengan anak saya, yang bisa ia rasakan kehadirannya cuma saya seorang. Bahkan sejak dia masih dalam kandungan, cuma suara saya yang didengarnya. Begitupun ketika pertama kali dia lahir kedunia, juga menemani minggu-minggu pertamanya di inkubator sebagai anak prematur.
Masa kecil saya yang bahagia penuh dengan cerita. Saya ingat ketika suatu hari ibu saya bilang kalau ia mau bekerja. Katanya lagi, "mungkin kita akan lebih sering membeli buku kalau ibu bekerja."
Ayah saya memang bekerja, namun belum mapan. Maka ibu pun bertekad untuk mengadu peruntungan menjadi PNS. Dan Ibu pun berhasil lolos menjadi guru PNS. Kehidupan kami agak membaik. Setidaknya kami bisa lebih sering piknik atau membeli buku.
Meski lama-kelamaan hidup kami semakin membaik. Ayah dan ibu saya tidak serta-merta memenuhi semua keinginan saya. Ayah dan ibu mengajari saya dan adik-adik saya tentang pentingnya berusaha dan berdoa untuk mendapatkan sesuatu. Kami tidak diberi uang jajan berlebih, makanya kami putar otak untuk bisa menambah uang jajan dengan cara berbisnis kecil-kecilan. Dan kami empat bersaudara, sudah memiliki penghasilan sendiri sejak masih di bangku kuliah. 
Kenangan paling berkesan sebenarnya ketika kami mudik lebaran. Bayangkan, kala itu kami berenam. Tiga adik saya yang masih kecil-kecil rela berdesak-desakan dan bermacet-macet ria naik bus antar kota demi bisa melihat embah dan sanak saudara di Purworejo sana. Dan sudah pasti dengan ongkos mudik yang pas-pasan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang tua saya mengatur uang yang hanya segitu-gitunya demi bisa mudik wajib sekeluarga. Kami biasanya membawa bekal makanan untuk mengurangi jajan di jalan. 
Pernah juga kami berenam menumpang mobil saudara. Ibu saya pun memasak untuk bekal makanan untuk seluruh penumpang di mobil itu selama perjalanan. 
Pernah saat menumpang, kami hanya bisa menelan air liur melihat si pemilik mobil asyik minum minuman kaleng tanpa menawari kami. Padahal ia membawa cukup banyak. Kebetulan saat itu juga belum ada Indomaret atau Alfamart di pinggir jalan seperti sekarang. Dan sepertinya sekalipun ada, ayah dan ibu saya tak punya banyak uang untuk jajan.
Akhirnya kami punya mobil sendiri. Kami sudah bisa leluasa mudik. Namun masih tetap prihatin. Ibu saya masih mempersiapkan aneka bekal selama di perjalanan, agar kita tidak banyak jajan.
Dan akhirnya mudik pertama ketika saya sudah mulai bekerja, keadaan jauh lebih baik. Kami tak perlu membawa bekal cukup jajan di jalan. Semakin ke sini, mudik tidak lagi dengan biaya minim. Kami biasanya konvoy kendaraan. Dan kami bisa makan di minum di restoran mana saja, bahkan kalau capek bisa menginap di hotel mana saja.
Mudik tahunan khususnya saat lebaran, bagi kami yang tinggal di Jakarta memang cukup berat. Punya uang pun mesti harus booking dari jauh hari kalau tidak mau kehabisan tiket pesawat atau kereta eksekutif. Padahal sering kali kami tidak berencana mudik, makanya sering memilih bermacet-macet ria dengan kendaraan pribadi sambil piknik dan wisata kuliner.
Karena kami sudah mengalami pahit getir kehidupan zaman susah dulu. Makanya sekarang kalau ada tamu atau ada saudara yang menumpang mobil atau piknik bareng, kita kompak menjamu mereka. Jangan sampai mereka merasakan sedih seperti yang pernah kita alami saat itu.

Comments

  1. Klo dpikir2 jaman kita kecil mayoritas dari kita tetep bisa survive berkat ortu yang menanamkan sikap latian prihatin, tapi efeknya meski hidup dalam kesederhanaan ada perasaan bahagia yg ga bisa dijabarkan ya mb, wah ternyata mudiknya ke pirworejo, saya baratnya mb kebumen hehe

    ReplyDelete
  2. heheheh kalo ke Purworejo lewat Kebumen dulu. Iyaaaaa....makanya aku juga akan seperti itu pada anak-anakku....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sirplus, Solusi Minum Obat Puyer untuk Anak

'Excellent Services' ala Rumah Sakit Hermina

Hijab Syar'i Tak Perlu Tutorial