Zaman sekarang, siapa yang tidak punya akun sosial media (sosmed)? Saya yakin hampir semua pengguna ponsel pintar yang terkoneksi internet pasti aktif di sosmed. Kalau pun pasif memposting, pasti mereka aktif mengintai teman-temannya dalam diam.
Pertengahan tahun 2005 adalah awal perkenalan saya dengan Friendster,
situs jejaring sosial terpopuler saat itu. Kebetulan, saat itu saya yang baru
saja menyelesaikan bangku kuliah S1, segera bekerja di suatu perusahaan swasta.
Dan itulah kali pertama saya mengakses internet dengan durasi yang
berkali-lipat lebih lama ketimbang sewaktu masih kuliah.
Maklum, biaya sambungan internet saat itu masih sangat mahal. Saya lebih
sering mengakses internet di warnet ketimbang ‘dial up’ menggunakan sambungan
telepon rumah. Walaupun akses internet di warnet lebih ekonomis ketimbang
menggunakan sambungan telepon rumah, namun tetap saja harganya cukup mahal
untuk kantong mahasiswa. Kebetulan, handphone yang saya miliki saat kuliah,
tidak cukup canggih untuk dibuat berselancar di dunia maya, paling hanya untuk chatting.
Jam kerja dari jam delapan pagi hingga lima sore, setelah dipotong waktu
istirahat makan siang satu jam, saya masih punya banyak waktu luang untuk
berselancar di dunia maya di sela-sela pekerjaan saya. Setelah pekerjaan kantor
beres, biasanya saya sibuk berselancar di dunia maya. Saat itulah saya mengenal
dunia blogging. Dan itulah kali
pertama saya teracuni oleh Friendster, situs jejaring sosial yang sedang
‘nge-hits’ kala itu.
Rasanya ada keasyikan tersendiri ketika saya mencoba mencari orang-orang
yang saya kenal di Friendster dan mencoba untuk menambahkan ke dalam daftar
teman saya. Tidak membutuhkan waktu lama, saya bahkan bisa menjaring teman
hingga ribuan, belum termasuk orang-orang baru yang entah darimana datangnya.
Seru rasanya memantau ‘kehidupan’ orang-orang yang saya kenal di dunia
maya, tanpa perlu ekstra usaha untuk menjadi stalker (mata-mata atau spionase). Mereka dengan ikhlas membagikan
cerita hidupnya dengan mem-posting status atau mengunggah foto-foto pribadi.
Dari laman Friendster, saya bisa tahu si A pacaran dengan siapa, kerja dimana,
sesukses apa, atau malah separah apa.
Saya pikir, kehidupan di dunia Friendster sudah sedemikian seru, hingga
akhirnya masa keemasan Facebook datang. Saya baru mendaftar di Facebook di
tahun 2007. Saya yang semula sempat meremehkan Facebook dengan membandingkan
keseruan yang pernah saya rasakan di Friendster, tiba-tiba malah ‘hanyut’ sendiri
di lautan Facebook.
Seiring dengan semakin ‘intens’-nya saya fesbukan, saya sampai lupa pernah
merasakan keasyikan yang sama di Friendster. Bahkan saya sempat lupa pernah
punya akun Friendster. Ketika saya ingat, saya malah lupa sama sekali akses
menuju akun Friendster saya. Akhirnya akun saya pun lenyap entah kemana.
Mungkin sama-sama ‘tenggelam’ bersama kepopuleran Friendster yang kian sirna.
Seingat saya, jumlah teman saya kala itu hingga mencapai lebih dari seribu
orang. Akun saya sengaja diatur agar bisa dilihat secara bebas oleh siapa saja,
walaupun bukan teman atau orang di lingkaran saya. Alhasil, banyak orang-orang
baru yang tiba-tiba menambahkan saya sebagai teman, walau tidak semua saya
kabulkan, tetap saja jumlah teman saya masih banyak.
Saya menjaga pertemanan saya dengan daftar teman di Facebook dengan
emosional. Rasanya sedih luar biasa, ketika saya tahu ada teman yang sengaja
‘menghapus’ pertemanan kami dengan cara unfriend.
Selain sebagai pengguna Facebook, saya
adalah pemilik akun twitter. Sebenarnya saya sudah memiliki akun
twitter @rheesma sejak tahun 2009 namun baru dua bulan belakangan saya ubah jadi @angin_rinduku.
Saya seperti kebanyakan pemilik akun
twitter, yang lebih suka berkicau tentang curahan hati. Saya menganggap twitter
adalah ajang ‘nyampah’ kicauan yang tidak bisa diposting di Facebook.
Keterbatasan twitter yang hanya
membolehkan postingan kalimat, gambar atau video tidak lebih dari 40 karakter
membuat orang-orang jauh lebih kreatif merangkai kata. Rasanya lebih menantang
menyampaikan pesan puluhan atau ratusan halaman hanya dengan rangkaian kalimat
efektif tak lebih dari 140 karakter namun bersambung. Twitter lebih mirip SMS
yang bisa diakses lewat internet. Tetapi sekarang, Twitter lebih leluasa, tidak ada batasan karakter seperti dahulu.
Saya pernah menjajal Path sebentar, namun kemudian saya memutuskan untuk meng-uninstal aplikasi tersebut dari ponsel saya, demi memori ponsel saya. Lagipula saya tak terlalu menikmatinya.
Saya pemilik akun instagram "angin_rinduku". Kalau dahulu, ada masa-masanya saya teramat menggandrungi Twitter. Kini saya lebih suka aktif di instagram. Tak hanya aktif posting tetapi juga aktif 'mengintip'.
Selain
pengguna Facebook, Twitter, Instagram dan Path. Saya pun pengguna situs
jejaring sosial professional LinkedIn. Berbeda dengan situs jejaring sosial
lainnya yang tidak mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Keunikan
situs LinkedIn justru ingin menjadi satu-satunya sius jejaring sosial yang
menghubungkan orang sesuai latar belakang profesinya.
Kalau
di situs jejaring sosial lainnya, saya bisa sesuka hati mengarang biodata.
Namun, di situs LinkedIn saya benar-benar mencantumkan biodata professional
saya, layaknya sedang membuat CV saat akan melamar kerja. Semua tulisan saya
pikirkan masak-masak, ditulis dengan gaya formal dan berbahasa Inggris. Karena
salah satu tujuan LinkedIn adalah mempertemukan pengguna dengan perusahaan
prospektif yang ingin mempekerjakan, calon klien, atau bahkan rekan kerja
profesional. LinkedIn adalah ajang ‘menjual diri’ secara profesional.
Sebenarnya saya juga punya akun Youtube. Tetapi terlalu malas untuk posting. Selain memakan kuota, passion saya lebih kepada menulis, ketimbang video editing. Walau kadang, saya suka mengedit, puisi musikal karangan saya sendiri.
Bagi saya sosmed itu penting gak penting. Asal penggunaannya sesuai porsi, maka tak akan mengganggu hidup.
Hendaknya kita berhati-hati men-share foto atau video kita, keluarga kita atau anak kita di sosial media, karena penyakit ‘ain bisa terjadi melalui foto ataupun video. Meskipun tidak pasti setiap foto yang di-share terkena ‘ain tetapi lebih baik kita berhati-hati, karena sosial media akan dilihat oleh banyak orang.
Penyakit ‘ain adalah penyakit baik pada badan maupun jiwa yang disebabkan oleh pandangan mata orang yang dengki ataupun takjub/kagum, sehingga dimanfaatkan oleh setan dan bisa menimbulkan bahaya bagi orang yang terkena.
Jika
Anda memiliki teman yang hobi berstatus negatif di media sosial,
apa yang perlu Anda lakukan?
Cara
mencegah yang terbaik adalah hindarkan diri Anda dari ‘radiasi’ status negatif
yang terus-menerus. Tidak ada salahnya jika Anda memilih untuk memutuskan
hubungan pertemanan dengannya. Delete,
Unfollow, Block! Beres!
Tips lain adalah, jangan terlalu mengambil hati apa-apa yang kalian baca di sosmed!
Bener sekali mbak itu salah satu mamfaat tombol unfollow jangan mudah menerima berita di sosi media
ReplyDeletetoss ah....
DeleteMenurut saya, media sosial itu penting, Mbak. Itu jadi sumber pertemanan juga. Tapi yang namanya hati-hati itu wajib juga.
ReplyDeleteiya....tapi musim pilpres jadi 'panas'
Delete